Oleh: Hamah Sagrim
This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Sabtu, 19 Juni 2021
SEPAK BOLA DAN DUKUNGAN ANAK-ANAK PAPUA KARENA ALASAN SEJARAH
Rabu, 24 Februari 2021
MENANTIKAN CINTA
RUPA CINTA
NYANYIAN CINTA
Nyanyian CINTA dilantungkan dari hati dan dihayati oleh jiwa.
KETAKUTAN
Selasa, 23 Februari 2021
KEDUKAAN
Kedukaan adalah pondok persinggahan lara. Dibangun oleh jiwa ditengah perjalanan sunyi sebagai pasenggrahan bagi lara. Ketika waktunya tiba, dari dalam bilik-bilik ruangnya lara melantungkan biduan lelayu menjadi penghentar dan pengantara dimensi waktu kehidupan nyata yang berpindah menuju alam baka
Syair Keabadian
Hamah Sagrim
WASYOR - KOTA EMAS 1925 TAHUN MASEHI CENDERAWASIH DAN TOM PEMAIN SULING BAMBU
WA SYOR - WONDAMANE KOTA EMAS 1925 TAHUN MASEHI
Ketika Raja memberi kebebasan kepada Kijne orang berhikmat itu untuk mengajar rakyat di Kota Emas. Bagaimana tidak, setiap subuh ketika bintang timur bersinar, Raja mendengar doa darinya naik kepada Sang Khalik. Doa yg dinaikkan oleh Kijne hanya untuk rakyat kota emas. Doa Kijne meminta untuk Tuhan memberkati bangsa ini. Mendengar doa-doanya, hati Raja tergugah. Ketika mentari pagi bersinar, Raja memanggil Kijne ke Istana. Dengan lekas, seorang pengawal raja memanggil Kijne. Orang berhikmat itu segera ke istana raja didampingi oleh seorang pengawal raja. Mereka memasuki istana dan terlihat dari singgasana, Raja tersenyum tanda menyambut Kijne. Raja mempersilahkan Kijne duduk kemudian Baginda Raja berkata, "Kijne!, di Kota Emas aku memberi titah bahwa, engkau bebas melakukan aktivitas di mana saja yg engkau mau". Raja kemudian berkata, "Ini adalah titahku sebagai Raja dan semua rakyat menyambut engkau di sini". Kijne terlihat bahagia, karena salah satu doa yg ia lantungkan kepada Tuhan agar mendapat ijin raja untuk bisa melakukan pengajaran kepada rakyat di Kota Emas telah terjawab. Kijne memberi hormat kepada Baginda Raja dan berkata, "Betapa sukacitanya aku mendapat penghormatan darimu Baginda Raja". Kijne berkata, "Aku datang untuk suatu panggilan, yaitu pengabdian, sebab pekerjaan disini banyak, namun pekerjanya sedikit. kiranya Saya dapat melakukan sedikit dari banyaknya pekerjaan yg ada". Baginda Raja merasa bahagia atas penyampaian Kijne orang berhikmat ini. Kijne berdiri dan pamit untuk pergi kepada baginda raja.
MANSINAM - KOTA EMAS 1923 TAHUN MASEHI
RAJA duduk di singgasana berkaki emas dikelilingi bintang-gemintang yang gemerlapan di sekujur langit. Dari kejauhan nampak api unggun di lapangan kecil pada sebuah desa dekat kota emas yg dikelilingi gunung-gunung besar berkaki emas. Aroma asap menebar ke seluruh istana. Raja sedang duduk, dan disisi kanan dan kirinya para pendeta dan pejabat tinggi. Sedangkan kanguru dan kasuari berdiri sebagai pengawalnya menghadap ke gerbang kota emas.
Semakin sepih ditelan malam membisu. Sayup terdengar dari kejauhan, suara suling mengalun dgn nada merdu menembus istana masuk ke telinga raja membangkitkan jiwa raja sehingga raja bergegas menuju balkon ingin mendengar nyanyian merdu itu. Raja bertanya, siapa pemain suling itu?. Jawab seorang pendeta, "Tom, pemuda hitam yg selalu dengan suling bambu dan tifa". Dengan merdu terdengar bait lagu seruling emas nomor tujuh bait pertama begitu merdu masuk di telinga Baginda raja, membuatnya tertegun diam menikmatinya dalam hening dn jiwanya terbang kelilingi kota emas, menancap di gunung2, pantai, lautan dan lembah mengikuti bait2 lagu itu. Pada bait terakhir begitu mempesona sehingga Raja menyanyikannya ulang2 sambil berjalan masuk mengulangi bait itu, "Syukur bagi-Mu Tuhan, Kau brikan tanahku, bri aku rajin juga sampaikan maksud-Mu". Bait ini terngiang dalam ingatan raja sampai di singgasana pun masih dinyanyikan olehnya.
Setelah raja duduk di singgasana, seorang pendeta tua yg janggutnya putih menghadap raja dengan suara yg terhormat dn berwibawa, ia berkata, "Yang mulia Raja, kemarin kota kita ini kedatangan seorang berhikmat yg penuh pewahyuan dari Tuhan. Neneknya berkebangsaan Yahudi, orang itu dibesarkan oleh Ratu Elisabeth di Belanda. Dia meletakan maklumat peradaban bagi kota kita. Kata2nya jelas dibaca tetapi maknanya dalam dan sakral dan sulit dimengerti. Dia menyampaikan ajaran tentang ruh kehidupan dari Tuhan yg diturunkan kepada setiap manusia. Dia menyampaikan tentang ketetapan Tuhan bagi bangsa kita. Orang ini ingin bertemu baginda untuk menceritakan kepercayaannya.............
(Baca lebih lengkap pada buku: Kota Emas dan Tom Si Hitam Pemain Suling Bambu) dalam proses terbit.
Hamah Sagrim, 2020
Seri ke-01
Senin, 22 Februari 2021
KEINDAHAN
TANPA CINTA
AJARAN KASIH vs AJARAN CINTA
Kasih mengajarkan tentang pemberian tanpa pamrih seperti buah mangga yang menyerahkan dirinya kepada orang yang melempari dia dengan batu. Orang itu menikmati rasa manisnya mangga tanpa menyadari bahwa dia telah melukainya dengan batu.
Cinta tanpa penerimaan tak ada kenikmatan;
Orang yang jatuh cinta tanpa diterima adalah sia-sia;
Minggu, 21 Februari 2021
PENGANTAAR TEORI ARSITEKTUR MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA
BUKU INDUK DATA ARSITEKTUR MAYBRAT IMIAN SAWIAT
PENGANTAR TEORI
ARSITEKTUR MAYBRAT IMIAN SAWIAT PAPUA
SAJIAN DATA ARSITEKTUR
(NASKAH)
______________________________________________
PENGANTAR
TEORI ARSITEKTUR MAYBRAT
A. Definisi
Arsitektur Maybrat,
Imian, Sawiat adalah seni yang dilakukan oleh orang Maybrat, Imian Sawiat tiap individu
untuk mengimajinasikan diri mereka yang dicatat sebagai ilmu dalam merancang
bangunan arsitekturalnya.
Secara luas, arsitektur
mencakup rancangan dan pembangunan keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari
level makro yaitu perencanaan kota, arsitektur lanskap, hingga ke level mikro,
yaitu desain bangunan, desain perabot, dan desain produk. Arsitektur juga
merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.
B. Ruang Lingkup dan Keinginan
Dalam
konsep arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, mengatakan bahwa arsitektur yang baik
harus terlihat indah (mof) sebagai syarat venusitas (estetika),
kuat (matak) sebagai syarat firmitas dan berguna serta berfungsi
sebagai syarat utilitas. Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, selalu
memperhatikan keseimbangan dan koordinasi antara ketiga unsur tersebut secara
teratur dan tidak ada satu unsur pun lebih tinggi atau rendah dari yang lain.
Dalam definisi moderen menuntut
arsitektur harus mencakup pertimbangan fungsi, estetika, dan psikologis,
namun dapat dikatakan bahwa unsur fungsi itu sendiri didalamnya sudah mencakup
unsur estetika maupun psikologi. Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, mencakup
tiga aspek tuntutan definisi tersebut.
C. Teori dan Praktik
Pentingnya teori untuk
menjadi referensi. Memang disadari pembangunan arsitektur Maybrat, Imian,
Sawiat, mula-mula yang disebut Charit/mbol
chalit tiada teorinya, tetapi didasari atas pengalaman membangun yang
diajarkan secara turun-temurun kepada anak melalui proses permagangan keluarga.
Proses permagangan keluarga yang dimaksud adalah ketika ayah membangun sebuah
bangunan rumah, anaknya diikut sertakan dalam proses pembangunan sehingga
memperoleh pengalaman, kemudian anak tersebut bertumbuh dewasa dan membangun
rumah sesuai pengalaman yang diperoleh melalui permagangan dengan ayahnya. Pengalaman
merupakan sekumpulan pengetahuan yang didapat sepanjang hidup setiap orang,
dengan demikian disimpulkan bahwa sebuah pengalaman yang luarbiasa menjadi
pengetahuan yang menjadi cikal-bakal kelahiran sebuah teori. Oleh karena itu,
lahirnya pengatar teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat ini karena didasari
atas sekumpulan pengetahuan tentang kegiatan mebangun yang dialami dan telah menjadi
pengalaman didalam kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat. Pengantar Teori arsitektur
Maybrat, Imian, Sawiat, merupakan sebuah rumusan baru yang mencatat
pengalaman-pengalaman yang dialami oleh manusia Maybrat, Imian, Sawiat. Isi
dari pengantar teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, adalah mencatat dan
mendokumentasikan semua hal menyangkut arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, untuk
dipelajari dan dikembangkan secara teratur secara turun-temurun dari kehidupan
komunal menuju kehidupan moderen.
Pengantar teori
arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat mampu mencatat, merekam dan mendokumentasikan
pengetahuan arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, dari masa lalu dan menyajika new concept yang lahir dari old concept. Fungsi pengantar teori
arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat adalah memberikan inspirasi, wawasan,
mendokumentasikan, dan memberikan pencerahan kepada setiap individu yang
menggeluti bidang arsitektur untuk dapat dipahami dan dikembangkan sesuai gaya
dan nilainya.
Disadari bahwa
arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, adalah suatu pengetahuan otentik yang
dikembangkan di daerah tersebut yang perkembangannya didasarkan atas
pengalaman-pengalaman orisinal namun belum disusun secara ilmiah agar menjadi
sebuah teori yang berfungsi membahas, mendokumentasi, dan menyajikan
pengetahuan dan seni membangun arsitektur di Maybrat, Imian, Sawiat.
Meskipun dalam
perkembangan moderen masih ditemukan banyak arsitek yang mengabaikan teori,
namun perlu disadari bahwa teori adalah penjelasan tentang keseluruhan praktik
itu sendiri. Memang semestinya disadari bahwa teori dan praktik adalah akar
arsitektur. Praktik adalah perenungan dari pengalaman yang berkelanjutan
terhadap pelaksanaan sebuah proyek atau pengerjaannya dengan tangan, dalam
proses konversi bahan bangunan, dengan cara yang terbaik. Teori adalah hasil
pemikiran beralasan yang menjelaskan proses konversi bahan bangunan menjadi
hasil akhir sebagai jawaban terhadap suatu persoalan (Vitruvius). Seorang
arsitektur yang berpraktik tanpa dasar teori, dia tidak dapat menjelaskan
alasan dan dasar mengenai bentuk-bentuk arsitektur yang dipilihnya. Sebuah
teori akan menjelaskan mengenai bentuk dan aliran arsitekturalnya sehingga
ketika seorang arsitektur melakukan suatu pilihan terhadap gaya atau bentuk
suatu arsitek, dia mampu menjelaskan alasan mengapa dia memilih gaya tersebut
sesuai sistem nilai, unsur nilai, fungsi, dan anatominya.
D. Sejarah arsitektur Maybrat, Imian,
Sawiat
Arsitektur Maybrat,
Imian, Sawiat, lahir dari dinamika antara kebutuhan terkait (kondisi lingkungan
yang kondusif, keamanan, iklim, dll). Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat adalah
suatu arsitektur prasejarah dan primitif yang menjadi tahap awal dinamika
arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat. Para arsitek Maybrat, Imian, Sawiat, diwaktu
itu bukanlah seorang figur penting di wilayah tersebut, bahka tidak ditemukan
satu orang pun yang fokus sebagai seorang arsitek namun semua orang Maybrat,
Imian, Sawiat, adalah arsitek dan memang kelihatannya bahwa semua orang
Maybrat, Imian, Sawiat, bisa menjadi arsitek karena seni membangun bagi mereka
adalah suatu tradisi yang dipelajari secara turun-temurun melalu proses
permagangan keluarga. Arsitektur tradisional Maybrat, Imian, Sawiat, adalah
arsitektur vernacular yang lahir dari
kebutuhan dan pengalaman. Saya berpendapat bahwa sebelum adanya pembelajaran
atau pekerja spesialisasi di dunia, mulanya satu orang dapat mengerjakan segala
sesuatu. Spesialisasi itu pun lahir ketika suatu aktivitas disusun secara
ilmiah, terstruktur dan rapih. Demikian halnya bahwa arsitektur Maybrat, Imian,
Sawiat, tak pernah terbayangkan dapat disusun secara terstruktur dan ilmiah
sebagai sebuah teori arsitektur sendiri. Saya berpendirian bahwa suatu ketika
akan muncul kelompok-kelompok manusia yang fokus mempelajari teori arsitektur
Maybrat, Imian, Sawiat dan mengembangkan alirannya secara khusus (special)
sehingga muncul gaya arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat.
E. Hunian Penempatan Arsitektur Mula-mula
Dalam
penelitian kami, tercatat tentang pola hunian orang Maybrat, Imian, Sawiat, di
masa lalu bersifat rural berdasarkan keret/marga di dusun mereka masing-masing,
kemudian datanglah pemerintah Hindia Belanda mengumpulkan mereka pada satu
tempat dan menjadi urban kecil yang disebut kampug dalam istilah civil society. Perkampungan-perkampungan
itu kemudian berkembang besar menjadi distrik dan kabupaten karena adanya
surplus produksi menambah percepatan pembangunan di bidang arsitektur membuat
perpindahan masyarakat dari rural menuju masyarakat urban begitu berkembang
cepat.
Pola
hunian orang Maybrat, Imian, Sawiat, mulai-mula mengikuti lereng gunung, sabuk
sungai dan sabuk jalan. Pola hunian tersebut kemudian mempengaruhi penempatan
bangunan arsitektur rumah hunian mereka. Pola hunian dan penempatan tersebut
masih dapat ditemukan di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, hingga sekarang dan
lokasi-lokasi penempatan bangunan arsitektur di areal hunian kampung semenjak
itu menjadi bukti kepemilikkan lahan bagi generasi dari keluarga dahulu yang
telah menempati lokasi-lokasi tersebut.
_________________________________________________________
BAB
I
PENGANTAR TEORI ARSITEKTU MAYBRAT
IMIAN SAWIAT PAPUA
A. Manusia Maybrat, Imian, Sawiat dan
Arsitekturnya
Secara geografis suku Maybrat mendiami di Distrik Ayamaru, Aitinyo,
Aifat. Suku Imian Sawiat hidup di distrik Sawiat dan Teminabuan, dengan tipe iklim tropis
basah, dan didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian Petani, Nelayan dan pemburu. Dari aktivitas
yang heterogen ini ditunjang oleh rumah panggung dan rumah gantung dengan
material pendukung umumnya berasal dari alam,
dan berdiri diatas
perairan bagi para nelayan, dan bagi para petani struktur bangunan berdiri
diatas permukaan tanah, sungai, pesisir pantai maupun di atas pohon. Bentuk
pembangunan arsitektur didorong oleh budaya wiyon/wofle.
Penghuni pemukiman ini adalah merupakan etnik , yaitu satu suku besar suku Maybrat, dan dua anak suku Imian,
Sawiat yang adalah suku besar dari
Tehit. Mata pencaharian pokok mereka adalah berkebun, menangkap ikan dengan perahu dan
memburu binatan liar dengan Tombak,
Jubi, Panah, Parang dan Anjing. mereka dikenal
dengan sebutan manusia nelayan, petani dan pemburu. Sebagai manusia nelayan, petani dan pemburu, mereka melakukan segala
aktivitas dan menghabiskan hidupnya dengan mengail, bercocok tanam dan memburu.
Kemudian sejalan dengan bertambahnya waktu, mereka menetap dalam suatu hunian dan berkelompok membentuk suatu permukiman (urban space), namun budaya mengail,
bertani dan memburu masih mempengaruhi kehidupan mereka sampai sekarang.
Keberhasilan dan kelanggengan rumah harit-mbol chalit dalam kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat, terlihat memberikan kenyamanan kepada
penghuni dalam hal kenyamanan dari Musuh, Hewan atau binatan buas iklim
sekitar dan religi, akan tetapi kelayakan
daripada ruang thermal sendiri belum memberikan kenyamanan yang sesuai, karena
terlihat begitu tertutup dengan ruangan yang multifungsi yang mana didalamnya
seluruh aktifitas penghuni berlangsung. Dari organisasi ruang yang multifungsi serta
ruang thermal yang dipengaruhi oleh asap api akibat pembakaran kayu ketika
masak, menimbulkan kepulan asap yang berpotensi mengakibatkan ispa kepada penghuni
dan kadangkala penghuni batuk-batuk dan sakit mata yang mengakibatkan
airmatanya bercucuran, bahkan berbahaya bagi bayi. Kadangkala ibu harus
menggendong bayi untuk duduk diluar teras (isit)
guna menghindari pengaruh asap api terhadap bayi. Dari bentuk dan tata ruang seperti demikian dengan kenyamanan
thermal seperti demikian, maka dirasa perlu untuk diteliti supaya diketahui secara
rinci.
Bentuk arsitektur tradisional harit-mbol chalt yang mempunyai nilai filosofis dengan ornamen yang melambangkan kewibawaan seorang bobot-bigman, kelihatannya akan hilang dengan kecenderungan masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat yang mendirikan rumah tanpa menampilkan ornament sebagai suatu kewibawaan, sehingga dirasa perlu untuk diangkat kembali dengan menciptakan konsep bangunan harit-mbol chalit dengan dilengkapi ornament sebagai simbol filosofi kebesaran orang Maybrat, Imian, Sawiat (Ra bobot-na bobot-big man) yang menunjukkan kehebatan dan kewibawaan. Selain itu juga Pengantar teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, dengan usulan konsep ini bertujuan untuk menciptakan bentuk arsitektur harit-mbol chalit yang terlihat tidak kumuh. Walaupun bentuknya yang pertama telah menciptakan kenyamanan thermal dalam ruang terhadap faktor iklim namun, faktor interior belum baik karena tertutup dan menampung asap yang mengakibatkan penghunia mengalami sakit paru-paru, sebagaimana laporan dinas kesehatan bahwa mayoritas masyarakat di wilayah maybrat, Imian, Sawiat, mengidap penyakit Paru-paru. Hal itu membuat sehingga adanya suatu pertimbangan bagi para arsitek untuk membuat konsep bentuk arsitektur dengan pertimbangan penghawaan dalam ruang dengan menambahkan bukaan tanpa meninggalkan wujud awal arsitekturalnya.
__________________________________________________
BAB
I
PENGANTAR TEORI ARSITEKTU MAYBRAT
IMIAN SAWIAT PAPUA
A. Manusia Maybrat, Imian, Sawiat dan
Arsitekturnya
Secara geografis suku Maybrat mendiami di Distrik Ayamaru, Aitinyo,
Aifat. Suku Imian Sawiat hidup di distrik Sawiat dan Teminabuan, dengan tipe iklim tropis
basah, dan didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian Petani, Nelayan dan pemburu. Dari aktivitas
yang heterogen ini ditunjang oleh rumah panggung dan rumah gantung dengan
material pendukung umumnya berasal dari alam,
dan berdiri diatas
perairan bagi para nelayan, dan bagi para petani struktur bangunan berdiri
diatas permukaan tanah, sungai, pesisir pantai maupun di atas pohon. Bentuk
pembangunan arsitektur didorong oleh budaya wiyon/wofle.
Penghuni pemukiman ini adalah merupakan etnik , yaitu satu suku besar suku Maybrat, dan dua anak suku Imian,
Sawiat yang adalah suku besar dari
Tehit. Mata pencaharian pokok mereka adalah berkebun, menangkap ikan dengan perahu dan
memburu binatan liar dengan Tombak,
Jubi, Panah, Parang dan Anjing. mereka dikenal
dengan sebutan manusia nelayan, petani dan pemburu. Sebagai manusia nelayan, petani dan pemburu, mereka melakukan segala
aktivitas dan menghabiskan hidupnya dengan mengail, bercocok tanam dan memburu.
Kemudian sejalan dengan bertambahnya waktu, mereka menetap dalam suatu hunian dan berkelompok membentuk suatu permukiman (urban space), namun budaya mengail,
bertani dan memburu masih mempengaruhi kehidupan mereka sampai sekarang.
Keberhasilan dan kelanggengan rumah harit-mbol chalit dalam kehidupan orang Maybrat, Imian, Sawiat, terlihat memberikan kenyamanan kepada
penghuni dalam hal kenyamanan dari Musuh, Hewan atau binatan buas iklim
sekitar dan religi, akan tetapi kelayakan
daripada ruang thermal sendiri belum memberikan kenyamanan yang sesuai, karena
terlihat begitu tertutup dengan ruangan yang multifungsi yang mana didalamnya
seluruh aktifitas penghuni berlangsung. Dari organisasi ruang yang multifungsi serta
ruang thermal yang dipengaruhi oleh asap api akibat pembakaran kayu ketika
masak, menimbulkan kepulan asap yang berpotensi mengakibatkan ispa kepada penghuni
dan kadangkala penghuni batuk-batuk dan sakit mata yang mengakibatkan
airmatanya bercucuran, bahkan berbahaya bagi bayi. Kadangkala ibu harus
menggendong bayi untuk duduk diluar teras (isit)
guna menghindari pengaruh asap api terhadap bayi. Dari bentuk dan tata ruang seperti demikian dengan kenyamanan
thermal seperti demikian, maka dirasa perlu untuk diteliti supaya diketahui secara
rinci.
Bentuk arsitektur tradisional harit-mbol chalt yang mempunyai nilai filosofis dengan ornamen yang melambangkan kewibawaan seorang bobot-bigman, kelihatannya akan hilang dengan kecenderungan masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat yang mendirikan rumah tanpa menampilkan ornament sebagai suatu kewibawaan, sehingga dirasa perlu untuk diangkat kembali dengan menciptakan konsep bangunan harit-mbol chalit dengan dilengkapi ornament sebagai simbol filosofi kebesaran orang Maybrat, Imian, Sawiat (Ra bobot-na bobot-big man) yang menunjukkan kehebatan dan kewibawaan. Selain itu juga Pengantar teori arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat, dengan usulan konsep ini bertujuan untuk menciptakan bentuk arsitektur harit-mbol chalit yang terlihat tidak kumuh. Walaupun bentuknya yang pertama telah menciptakan kenyamanan thermal dalam ruang terhadap faktor iklim namun, faktor interior belum baik karena tertutup dan menampung asap yang mengakibatkan penghunia mengalami sakit paru-paru, sebagaimana laporan dinas kesehatan bahwa mayoritas masyarakat di wilayah maybrat, Imian, Sawiat, mengidap penyakit Paru-paru. Hal itu membuat sehingga adanya suatu pertimbangan bagi para arsitek untuk membuat konsep bentuk arsitektur dengan pertimbangan penghawaan dalam ruang dengan menambahkan bukaan tanpa meninggalkan wujud awal arsitekturalnya.
tinggal
manusia moderen sekarang ini, akan tetapi jenis bangunan halit atau rumah
gantung ini hanya terdiri atas satu buah ruangan yang multi fungsi. Lihat
gambar detail interior disamping:
Orang Maybrat, Imian, Sawiat,
selalu mendirikan bangunan rumah halit
atau rumah gantung selalu hanya
memiliki satu ruang kamar yang multi fungsi. Dikatakan multifungsi karena
segala aktifitas dilakukan didalam satu ruang tersebut. Selain multi fungsi, juga
familiar atau memiliki kesan keakraban dan kesamaan, karena setiap kegiatan
yang dilakukan dalam ruang tersebut tidak disembunyikan (tanpa ada halangan) bebas, serta transparan. Sebagaimana dengan filosofi mereka yang kental
bahwa “ohat sou su, samu sou su”artinya satu tungku api dan
satu rumah sebagai tempat tinggal bersama. Filosofi ini merujuk pada kesan
kebersamaan dan keakraban.
Jenis halit myi-mbol chalit – rumah gantung banyak dijumpai di hutan – hutan
pada zaman orang Maybrat, Imian, Sawiat masih hidup dalam zaman dahulu, namun setelah mereka sudah moderen, jenis rumah ini jarang
ditemukan karena kehidupan mereka sudah berkelompok membentuk perkampungan masyarakat. Orang Maybrat, Imian dan Sawiat tidak secara gampang melupakan jenis – jenis
bangunan rumah tradisional mereka, akan tetapi
masih sering juga dibangun diperkampungan mereka. Pada tahun
2005, di Kota Sorong, Walikota menginstruksikan bahwa untuk menyonsong hari
natal 25, Desember, warga di Kota Sorong dilombakan bangunan rumah tradisional yaitu rumah gantung halit – mbol chalit, yang mana diberikan hadiah kepada masing-masing pemenang yang mempunyai
bangunannya estetis dan layak. Ya begitulah sampai kini Orang Maybrat, Imian, Sawiat, terus membangunnya dan hal ini
patut di angkat jempol karena memberi inspirasi dan pengalaman tersendiri
kepada kaum muda yang ada di sana.
Dari bentuk bangunan yang ada, dapat
dilihat bahwa rumah tradisional orang Maybrat, Imian, Sawiat, mula – mula tidak
mengenal adanya pembagian ruang, tetapi yang ada
hanya satu ruang yang multifungsi.
Dari kejelasan ruang tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa kehidupan dalam
keluarga memberi suatu
kesan keakraban, demikianlah sebagaimana yang jumpai. Dikatakan bahwa rumah orang Maybrat, Imian Sawiat memberi kesan
keakraban, karena di dalam ruang tersebut setiap anggota keluarga bilamana melaksanakan segala sesuatu tidak tersembunyi untuk dilihat oleh sesama anggota keluarga lainnya. Apapun yang dilakukan oleh
seseorang anggota keluarga merupakan suatu kebersamaan, disinilah keluhuran
keakraban yang sebenarnya.
Adapun
beberapa aturan yang dipakai dalam fungsi rumah tersebut, misalnya untuk
anak-anak kecil dilarang untuk masuk kedalam rumah tersebut karena dianggap
sangat menggangu (risk) baik gangguan yang akan dialami oleh seorang ibu maupun
anak kecil tersebut. Lihat gambar jenis rumah bersalin.
Orang Maybrat, Imian,
Sawiat, selalu mendirikan rumah bersalin
bagi istri mereka yang sedang melahirkan. Jenis rumah bersalin ini biasanya
tidak bersifat permanen (sebut saja tergolong sebagai rumah musiman), yaitu
rumah bersalin didirikan jikalau pada saat itu ada seorang ibu hamil yang akan
sedang melahirkan. Rumah bersalin biasanya berukuran kurang lebih 3 x 3 m, dengan perhitungan hanya
dihuni oleh ibu yang melahirkan dengan bayinya. Lama waktu hunian, biasanya
berkisar antara dua minggu dan sampai dengan tiga minggu, dan sampai dengan tiga minggu,
adapun larangan kepada anak kecil untuk masuk rumah tersebut karena
mengakibatkan sesuatu yang fatal (mungkin berkaitan dengan mistis dalam
mitologi mereka).
- Ukuran.
Antara rumah gantung dan rumah tinggal semi moderen, yaitu rumah gantung
berukuran kecil sedangkan rumah hunian semi moderen ukurannya besar.
- Fungsi
Diliat dari fungsinya, rumah gantung hanya mempunyai satu ruangan saja
yang multifungsi, sedangkan rumah semi moderen memiliki tiga sampai empat ruang
yang mana memperkaya fungsi ruangnya sebagaimana kebutuhan pemilik.
- Struktur
Struktur bangunan rumah gantung sangat tinggi ukurannya, dengan ukuran
pilar atau struktur koloum yang sangat panjang mulai dari ± 500 cm – 700cm,
ketimbang ukuran rumah semi moderen yang mana ukurannya ± 300cm –500cm,
terhitung dari tumpuan koloum pada tanah hingga bubungan, dan ukuran 500cm
kebanyakan pada rumah panggung sedangkan untuk bangunan dinding tembok
berukuran paling tinggi 400cm. rumah gantung mudah tergerak oleh tiupan angin
ketimbang rumah semi moderen.
- Masa/Waktu
Masa/waktu bangunan untuk rumah gantung mampu bertahan selama ± 3-4
tahun, dibanding rumah semi moderen yang mana mampu bertahan hingga ± 4 – 8
tahun.
- Tata
Dilihat dari struktur penataannya, rumah gantung tidak memiliki tata,
seperti pekarangan bunga, halaman rumah, tata ruang, dan tata wajah bangunan
maupun penataan kelengkapan dan finising bangunannya yang mana terlihat pada
eksterior dan interior bangunan.
- Estetika
Pada uraian –
uraian diatas maka otomatis disimpulkan bahwa bangunan yang berestetika adalah
rumah semi moderen, yang mana dikembang moderenkan. Bentuk rumah semi moderen
ini dibangun dengan memiliki ruang atau kamar yang terdiri dari kamar tidur,
ruang tamu, ruang makan, dapur dan balkon atau teras. Berikut lihat denah:
menyerang. Selain itu rumah pertahanan kebanyakan dibangun di
puncak-puncak gunung besar yang sisi-sisi gunungnya dikelilingi oleh
tebing-tebing terjal yang sulit dijangkaui oleh para musuh, selain menghindar
dari musuh juga supaya bisa dengan gampang melihat situasi sekitar dengan mudah
karena posisi mereka diatas ketinggian gunung. Selain itu, juga ada yang didirikan diatas pohon yang lebih tinggi
ditengah belantara. Gua-gua atau lubang batu yang disebut (bomit) juga sebagai tempat
persembunyian. Berikut lihat gambar. Samu
snek/mbol, adalah benteng
pertahanan atau juga disebut-sebut sebagai rumah persembunyian. Disebut benteng
pertahanan atau rumah persembunyian karena rumah tersebut biasanya tersembunyi
dan sulit untuk dijangkaui orang lain dan juga biasanya banyak dipasang jebakan
ranjau untuk menghalangi para musuh, bahkan juga karena lokasi yang dibangun
rumah ini adalah lokasi yang sulit dan sangat sukar dijangkaui dan hanya bisa
dijangkaui oleh orang – orang tertentu saja seperti seorang Ayah, Ibu, Anak dan
family terdekat karena suatu alasan, bahwa jangan orang luar yang mengetahui
dimana jalan yang di laluinya sebab bilamana diketahui orang lain atau musuh,
maka mereka akan dibunuh. Karena begitu ketatnya kehidupan pada zaman prasejarah itu, yang
mana terikat dengan kehidupan balas - membalas
atau saling membunuh antar keluarga yang satu dengan yang lainnya (familiy
war).
a. Samu Mambo –Mbol Se → Rumah Nelayan
Samu mambo - mbol se adalah merupakan rumah nelayan yang dibangun ditengah-tengah
danau, dan rumah tersebut kebanyakan dibangun oleh Suku Maybrat yang tinggalnya
disekitar danau Ayamaru yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain suku
maybrat yang membangun rumah nelayan mereka, suku Imian dan sawiat pun memiliki
jenis rumah nelayan yang tidak kalah menarik dengan rumah nelayan suku Maybrat,
yaitu rumah kajang.
Rumah kajang adalah suatu jenis
rumah nelayan orang Imian dan Sawiat yang hidupnya di pesisir pantai dan
bermata pencaharian sebagai nelayan. Perbedaan antara rumah nelayan suku
Maybrat dan suku Imian, Sawiat adalah, rumah nelayan suku Maybrat dibangun
sebagaimana rumah inap biasanya yaitu dengan struktur bangunan yang berdiri
tegak vertikal dan kokoh, namun untuk rumah nelayan suku Imian dan Sawiat
berbeda, yaitu rumah kajang adalah rumah yang dibangun diatas sebuah perahu,
dan rumah kajang tidak berdiri kokoh pada suatu tempat tertentu namun ia selalu
dibawa kemana-mana dengan perahu, baik diwaktu mengail maupu beristirahat.
tna komeyan teit
yabo min aken. Kbe Raâ Wiyon-Na Wofle ysia wiyon tna rait to aro yaut aken rait
hahayah, ana mberur maut aken sou suu fe, reto mbou toni ”.
“ketika melangkah
melewati zona batas ruang suci, kita seperti berada dalam alam lain, sona atau
ruang atau bilik tersebut gelap gulita dan ketika itu kita akan melihat terang
sinar kemuliaan yang membias menerangi ruang suci itu, kita akan merasa seperti
kita dalam keadaan mimpi, dan ketika itu akan bermunculan bahtera (perahu)
Tuhan yang menghampiri setiap kita yang masuk kedalam ruang tersebut untuk
membawa kita ke suatu tempat yang suci, setiap kita yang telah masuk akan
dipersiapkan bahtera (perahu) yang sama jumlahnya dengan kita yang ada, dan
setiap orang menaiki satu bahtera (Perahu) dan didalam bahtera itu kita hanya
duduk dan didampingi oleh Raâ Wiyon-Na Wofle dan yang mendayung bahtera
(Perahu) adalah komeyan (Tuhan), dibagian kepala perahu (bahtera) duduklah
seorang tua yang putih kemilau rambutnya dan telinganya panjang dengan jubah
yang bersinar, ia adalah Allah (Oron Yabi)”.
Ungkapan tersebut diatas tentang rahasia bilik atau
ruang, bila kita kaji dengan ukuran keseluruhan bangunan atau bait tersebut,
merupakan sebuah bangunan yang dibangun langsung diatas tanah kering,
akan tetapi bagi Raâ Wiyon-Na Wofle mereka harus berangkat atau bepergian
dengan menggunakan perahu, karena perjalanan mereka begitu jauh dan melalui
lautan samudera raya. Disini terdapat suatu keajaiban dan pengalaman yang begitu
mengherangkan ketika kita mengkaji dari penjelasan tentang perjalanan yang jauh
dengan luasan bangunan yang mana tidak begitu jauh antara ruang/bilik yang satu
dengan ruang atau bilik yang lainnya, akan tetapi karena kita sebagai manusia
yang pada saat itu berada dalam hadirat Tuhan, maka waktu itu akan menyeleksi
kita. Menurut mereka Raâ Wiyon-Na Wofle dan Wiyon tna, mengatakan bahwa
perjalanan mereka begitu lama dan harus menempuh suatu samudera raya, dan
menurut mereka, lamanya mereka berpendidikan selama 3 bulan, akan tetapi bagi
orang biasa (Raa iin) yang berada diluar kemah mengatakan bahwa lama pendidikan
yang ditempuh dalam kemah k’wiyon-bol wofle adalah Enam bulan.
Peristiwa-peristiwa ini yang terjadi dalam perjalanan, ada yang boleh
dibicarakan namun ada yang tidak boleh untuk diungkapkan (sakral).
Wiyon Tna. Setelah Kemah terbakar,
Raâ Bam-Na Tmah, Raâ Wiyon-Na Wofle, Wiyon Tna, menyelidiki lagi dengan seksama
isi abu tersebut dengan tujuan bahwa jangan ada sisa-sisa perkakas yang belum
terbakar, semuanya harus dibakar tanpa sisa.
Dalam proses membakar K’wiyon-Mbol
wofle (Kemah - Sekolah),
tidak dibiarkan segelintir perkakas atau sepotong kayu dari kemah yang tersisa,
semuanya harus dipastikan terbakar lebur menjadi abu. Setelah semuanya itu
selesai barulah Raâ Bam-Na Tmah, Raâ Wiyon-Na Wofle, Wiyon Tna, boleh
meninggalkan lokasi kemah untuk proses Ujian kepada Murid (Wiyon Tna), setelah
diuji (sana Wiyon) baru Murid-murid diteguhkan menjadi Raâ Wiyon-Na Wofle.
Dalam peneguhan wiyon tna (Murid), biasanya dilakukan dengan cara menguji
setiap Murid dengan menyuruhnya menyembuhkan orang sakit (tgif kiyam),
menyembuhkan orang yang kena pagut dari ular (tgif aban), melancarkan
persalinan wanita hamil yang terhambat (tgif finya mabe), dan lain sebagainya.
Ujian ini merupakan suatu aktivitas terakhir bagi wiyon tna (Murid) barulah
diteguhkan sebagai Raâ Wiyon-Na Wofle. Ujian akhir ( sana Wiyon) yang dilakukan
oleh Raâ Wiyon-Na Wofle (Rasul-Guru) dan Raâ Bam-Na Tmah (Imam-Profesor) dan di ikuti oleh Wiyon
tna (Murid) guna mencapai gelar sebagai seorang Raâ Wiyon-Na Wofle. Setiap
Murid yang tamat dalam pendidikan Wiyon-Wofle, memiliki dua nama, yaitu nama
duniawi dan nama yang diberikan dari sekolah atau kemah (sum kafir) (nama suci).
Rincian keterangan warna:
- Warna
merah, menunjukkan kekuatan ghaib, sakral.
- Warna
hijau, menunjukkan areal bebas.
- Warna
hitam, menunjukkan kefanaan, keduniawian, ketidak sempurnaan.
- Warna
putih, menunjukkan kesucian, kemurnian, keAllahan, kesempurnaan.
Atas dasar pengakuan
Wiyon tna itu sendiri, maka Raâ Wiyon-Na Wofle dan Raâ Bam-Na Tmah akan
meneguhkan mereka dan mereka akan diterima sebagai anggota yang diperbaharui di
dalam persekutuan wiyon-wofle (sebagai Raâ Wiyon-Na Wofle) yang sungguh-sungguh
percaya kepada Wiyon-Wofle (Allah) mereka. Dengan demikian Wiyon Tna yang telah
diteguhkan sebagai Raâ Wiyon-Na Wofle pun boleh duduk bersama-sama dengan Raâ
Wiyon-Na Wofle yang lain bersama-sama dimeja perjamuan kudus, turut bertanggung
jawab dalam tugas Wiyon-Wofle, memberitakan Allah yang dipercaya (Wiyon-Wofle)
kepada dunia ini, dan turut bertanggung jawab pula dalam pembangunan
Wiyon-Wofle. Raâ Wiyon-Na Wofle dan Raâ Bam-Na Tmah, percaya dan mengaku bahwa
dalam dalam Tuhan mereka (Wiyon-Wofle), mereka dikumpulkan sebagai anak-anaknya
dari segala bangsa dan mempersatukan mereka menjadi satu tubuh yang Wiyon-Wofle
adalah kepalanya dan Raâ Wiyon-Na Wofle adalah anggotanya. Dalam perjamuan suci
didalam k’wiyon-bol wofle, Raâ Wiyon-Na Wofle memberi “Bofit” dan “Waif”
sebagai tanda dan meterai dari tubuh dan darah, Wiyon-Wofle senangtiasa
menghubungkan Raâ Wiyon-Na Wofle kepada persekutuan dengan dia sendiri dan
persekutuan antara sesama Raâ Wiyon-Na Wofle sebagai anak-anaknya.
Dalam persekutuan dengan Wiyon-Wofle, Raâ Wiyon-Na Wofle[1] dipanggil untuk mengaku dia sebagai Tuhan dan Juru selamat mereka melalui kata-kata dan perbuatan mereka setiap hari dan memberitahukan tentang dia keseluruh dunia. Jikalau dalam setiap ucapan dan perbuatan mereka tidak sesuai dengan perintah yang telah mereka terima dari Wiyon-Wofle, maka mereka akan menerima sangsi yang berat, yaitu mereka akan meninggal secara tiba-tiba (komeyan biji), ditimpa kelaparan (haisre mama), ditimpa kesakitan yang parah (kiyam mama), banyak persoalan yang menimpa (safo mai). Jenis bangunan rumah suci atau sekolah tradisional semenjak masuknya injil kristiani di dataran papua, semua jenis pengajaran maupun kepercayaan tradisional dilepaskan. Oleh karenanya kami sangat sulit untuk mendapatkan bangunannya karena saat ini tidak dibangun bisa dibilang akan punah, dan hanya saja kami dijelaskan bagaimana denah bangunannya saja sebagaimana pada gambar.
1. Spesifikasi
Bangunan
a.
Spesifikasi Denah
Bangunan rumah tradisional
suku Maybrat, Imian, Sawiat, dibangun dengan denah segi
empat yang dilengkapi dengan banyak koloum sebagai pilar utama, yaitu mulai
dari 4 koloum, 5,6,7,8 dan seterusnya bergantung ukuran besar kecilnya
bangunan. Bila ditelaah secara jelas dalam bentuk pondasi maka bangunan
arsitektur tradisional Maybrat Imian Sawiat termasuk dalam pondasi setempat.
Karena pondasi setempat memiliki banyak koloum, sehingga arsitektur Maybrat,
Imian, Sawiat, bisa disebut dengan nama “bangunan seribu kaki”. Untuk rumah yang dibangun diatas tanah tanpa
koloum biasanya menggunakan batang pohon besar sebagai koloum utama bagi
bangunan yang dibangun di atas pohon (rumah gantung atau halit myio-mbol halit).
Ukuruan
jenis koloum biasanya mempunyai ukuran yang
sama namun bisa di potong menjadi pendek, tergantung pada lokasi
bangunan. Misal pada lokasi yang akan didirikan rumah tidak berbatu maka ukuran
koloum (hafot) yang sudah di buat
tidak perlu untuk di rubah – rubah atau di potong, namun bila pada
lokasi persiapan memiliki bebatuan yang kuat dan susah digali, maka koloum (hafot)
yang ukurannya panjang akan di potong menjadi pendek sesuai dengan kondisi
tanah, kemiringan tanah juga mempengaruhi. Koloum – koloum yang digunakan
biasanya berbentuk huruf ‘Y’. dalam
pemikiran masyarakat Maybrat Imian Sawiat dalam memilih koloum raja atau koloum
induk adalah koloum harus berbentuk huruf ‘Y’ dan ‘U’, karena memiliki
penyangga pada bagian luar, sehingga untuk meletakan pemikul yang mana susah
tergeser. Hal ini dapat diterima dengan tujuan menghindari efek – efek
horizontal yang juga bisa mengakibatkan kayu pemikul beban menjadi lepas dari
tumpuannya.
Fungsi koloum utama (hafot)
adalah sebagai penyalur beban bangunan ke tanah, yang mana juga berfungsi sebagai koloum pemikul beban
keseluruhan bangunan dan isi bangunan yang ada secara kokoh. Dalam pengertian
masyarakat maybrat, imian dan sawiat bahwa “koloum utama harus ditanam dan
dipastikan sudah berdiri dengan kokoh karena bangunan tersebut bisa berdiri
tegak bertahun-tahun karena koloumnya kokoh.
a.
Spesifikasi dinding
Orang maybrat imian sawiat membangun rumahnya dengan
menggunakan bahan-bahan alami seperti pohon, rotan dan dedaunan, demikian bahan
penutup dinding pada bangunan rumah juga menggunakan bahan-bahan alami seperti
dinding kulit kayu, dinding gaba-gaba, dinding bambu dan dinding papan.
a.
Memasang Koloum (Mati Hafot)
Setiap bangunan rumah biasanya dilandasi dengan pondasi, yang berfungsi sebagai pemikul dan penyalur terakhir bangunan ke permukaan tanah. Pada arsitektur mula-mula belum dikenal dengan adanya pondasi, namun pada zaman dimana manusia mulai mengenal adanya rumah, setelah berpindah-pindah dari tempat yang satu ketempat yang lain yang mana lubang-lubang batu dan gua sebagai tempat perteduhan utama pada zaman sebelum mengenal bangunan. Populernya dahulu tak ada pondasi namun dikenal dengan koloum yang mana terbuat dari kayu. Menurut pandangan masyarakat Maybrat Imian dan Sawiat, koloum merupakan pemikul beban bangunan dengan isinya, hal ini dapat dibenarkan karena koloum merupakan pondasi setempat yang fungsinya memikul beban bangunan secara keseluruhan. Dalam urutan bangunan dimulai dari pondasi, demikian bagi masyarakat Maybrat Imian dan Sawiat. Adapun tahapan – tahapan dalam memasang koloum (mati hafot) adalah :
a.
Memasang Dinding (Mafir Hri)
Dalam proses pembuatan
rumah bahwasanya dimulai dari pondasi, tiang atau koloum, dinding, rangka atap
dan penutup atap. Demikianpula masyarakat suku Maybrat Imian Sawiat yang juga
mengalami proses yang serupa, sehingga dapat dikatakan bahwa manusia Maybrat
Imian Sawiat sudah memiliki pola pikir dalam membangun rumah yang
terstrukturalnya sudah tertanam atau diturun temurunkan semenjak permulaan
membangun rumah oleh Too
dan Sur.
Dalam tahapan
pemasangan dinding adalah dimulai dengan proses pemasangan rangka dinding,
tahap penyiapan bahan penutup dinding, tahap penyiapan bahan pengikat (rotan)
dan waktu kerja. Mengapa dikatakan waktu kerja? Karena dalam proses mendirikan
sebuah rumah, orang Maybrat, Imian, Sawiat, selalu merencanakannya sehingga
menjadi matang, dan berikutnya dilakukan pekerjaan tersebut. Dalam mendirikan
rumah, yang paling menghabiskan waktu adalah ketika mengumpulkan bahan-bahan
bangunan seperti kayu, atap, dan rotan. Hal ini berkaitan dengan kondisi alam
dengan persediaannya dan proses mencari jenis bahan yang digunakan sehingga
memerlukan ketabahan dan kejelian dalam memilih bahan bangunan, terutama bahan
rangka atau kayu.
1.
Teknologi
dan Teknik Membangun
a. Teknologi
Betapapun sederhananya sebuah bangunan, apalagi bangunan itu berupa rumah,
teknologi pasti dibutuhkan. Tidak ada satu sistem bangunanpun yang tidak
memerlukan teknologi. Bahkan kaum cerdik pandai mengatakan bahwa teknologi sama
tuanya dengan usia manusia itu sendiri.
Sejak permulaan manusia ada, sejak masyarakat yang paling primitifpun,
teknologi sudah merupakan bagian mutlak dari kehidupan manusia itu sendiri.
Benyamin Franklin, salah seorang pemikir masyur pernah mengatakan bahwa manusia
adalah “binatang pembuat alat”. Untuk keperluan hidupnya, manusia memang
memerlukan alat. Untuk berburu diperlukan pana atau jubi, tombak, untuk mancing
diperlukan pancing untuk mencari ikan di laut, juga diperlukan jaring, jala,
sampan, dan seterusnya. Kecakapan untuk membuat peralatan itu juga penggunaanya
merupakan syarat bagi kehidupan manusia yaitu bagi kelanjutan eksistensi
hidupnya. Kecakapan untuk membuat dan menggunakan alat itulah yang disebut
teknologi. Secara kasar teknologi adalah “perpanjangan tangan manusia”.
Teknologi pembuatan rumah (tempat tinggal) tidaklah rendah, hal ini dapat
dilihat pada karya arsitektur tradisional di tanah air. Baik arsitektur
tradisional Jawa, Bali, Batak, Minangkabau, Toraja ataupun Wamena Papua, sudah
tampak tingkatan mutu nilainya yang cukup tinggi. Begitupula rumah tinggal Suku
Maybrat Imian Sawiat, walaupun berbentuk sangat sederhana namun tidak lahir
secara mendadak. Rumah tinggal tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat telah
berabad – abad teruji kekuatannya, ia setua masyarakat Suku Maybrat Imian
Sawiat itu sendiri.
Kekuatan dan ketangguhan kehadapan zaman telah terbukti dari waktu ke
waktu. Teknologi pembuatannya menunjukkan keseimbangan antara kekuatan daya topang tiang –
tiang gapik dengan besarnya bangunan, sehingga nampak seimbang (harmoni) dengan
alam dan kehidupan sekitar.
b. Teknik Membangun
Membangun rumah bagi warga suku Maybrta Imian Sawiat tidak terlalu rumit
seperti terdahulu karena dilakukan secara gotong royong, walupun tukang yang
khusus tidak ada. Membangun atau mendirikan
rumah banyak yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan karena erat
hubungannya dengan kesibukan dan tenaga.
c.
Utilitas dan Perlengkapan
Untuk keperluan air bersih atau air tawar, tidak
begitu sulit bagi suku Maybrat Imian Sawiat, karena Banyaknya persedian air
tawar disepanjang wilayah Hunian. Untuk pembuangan limbah manusia, biasanya
para warga ditanah daratan memanfaatkan WC umum dan bagi warga yang mampu sudah
memilikinya sendiri. Namun bagi warga yang tinggal di perairan laut biasanya
pembuangan limbah langsung ke laut.
Untuk keperluan penerangan, Di Distrik Ayamaru, Aitinyo dan Aifat sudah menggunakan listrik yang disediakan oleh PLN setempat, namun Distrik Sawiat menggunakan listrik tenaga suria (solar sel). Dilingkungan permukiman ini juga sudah disediakan jaringan Telekomunikasi menggunakan Phone Cell (HP) untuk wliayah Ayamaru, Aitinyo Aifat namun terpusat pada ibu kota Distrik Induk, begitupun halnya di Sorong Selatan dipusatkan di Teminabuan sebagai ibu kota distrik yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Sorong Selatan.
E. Mengenal
Bahan – Bahan Bangunan
Berbicara
mengenai rumah tradisional suku maybrat imian sawiat, ada 5 jenis bahan
bangunan utama yang perlu diketahui yaitu: bahan rangka, bahan atap, bahan
dinding, bahan lantai dan bahan pengikat.
Pada tahun 1981 kebawah, jenis –
jenis kayu kuat sangat banyak di wilayah Maybrat Imian Sawiat, namun pada tahun
1982 terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan hingga mengakibatkan
kebakaran hutan yang hampir keseluruhan hutan belantara di wilayah Maybrat habis terbakar
diantaranya dari kampung Soroan, Sauf, Ayamaru, Kambuaya, Jidmau, Susumuk
Aifat, Kambufatem hinngga Yaksoro Aitinyo, daerah ini mudah terbakar karena
daerah kering dibanding daerah Imian dan Sawiat.
Terjadinya kebakaran pada waktu itu
mengakibatkan homogenitas hutan belantara menjadi hutan terbuka, yang mana
segala persediaan bahan – bahan bangunan yang tadinya mudah ditemukan menjadi
sulit ditemukan, seperti kayu, rotan dan kebutuhan bangunan lainnya.
Pada saat – saat sekarang, jenis – jenis kayu yang sangat kuat untuk di
gunakan dalam membuat rumah sudah langkah. Tadinya orang-orang membuat rumah
tidak terlalu lama atau tidak membutuhkan waktu yang lama, namun saat ini
kebanyakan kalau membuat rumah, sangat membutuhkan waktu yang relative lama
karena orang Maybrat, Imian, Sawiat ketika berencana untuk membangun sebuah
rumah, yang pertama di persiapkan adalah kayu – kayu sebagai
bahan yang dianggap agak berat pekerjaannya dan cukup membutuhkan waktu untuk
mengumpulkan kayu-kayu bermutu dari satu tempat ke tempat yang lain. Tentu saja kesulitan mencari bahan bangunan tersebut yang membuat
orang Maybrat, Imian, Sawiat sebaiknya mempersiapkan waktu yang banyak dalam
membangun sebuah rumah, perhitungan yang cemerlang dengan kerajinan dalam
melakukannya biasa dilakukan dengan cermat sehingga waktu lainnya dapat di
gunakan untuk pekerjaan-pekerjaan lain, terutama bertani karena orang-orang Maybrat, Imian, Sawiat adalah mayoritas latarbelakangnya petani
sehingga tiada hari tanpa bercocok tanam.
Meskipun banyak pepohonan kayu-kayu
yang bertumbuh pada hamparan belantara wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, seperti “sitam, rmo, ramboh
dan lain sebagainya, namun Orang Maybrat, Imian, Sawiat, secara turun - temurun
telah di perkenalkan dengan jelas tentang jenis – jenis kayu yang sudah
dianggap terbaik, agak baik, yang mana dapat digunakan dan yang tidak baik yang
mana tidak bisa dipergunakan sebagai bahan bangunan.
Oleh pihak orang Maybrat, Imian, Sawiat jenis – jenis kayu yang dianggap mampu bertahan selama puluhan tahun jika dipakai untuk mendirikan bangunan adalah sebagaimana yang di bedakan atas nama dan Jenis – jenis warnanya, kayu tersebut disini kami hanya dapat menyebutkannya dengan sebutan bahasa ilmiahnya adalah sebagai berikut:
1.
Bahan
Rangka
a) kayu ijie, kayunya keras dan lurus,
jenis kayu ini biasanya digunakan sebagai struktur rangka utama, baik rangka
atap, lantai, tiang pancang (sur), koloum (hafot). Warnanya putih kekuningan.
b) kayu mbala, kayu ini sangat keras,
lurus tidak halus, isinya berserabut, berwarna merah kecoklatan. Jenis kayu ini
biasanya digunakan untuk koloum utama (hafot), selain batangnya digunakan
sebagai koloum utama, kulitnya juga berfungsi sebagai penutup dinding utama.
c) kayu hlangguf, warnanya
putih membungkusi warna kemerahan, lurus dan tidak halus, isinya berserabut,
kulitnya agak bergetah, jenis kayu ini biasanya digunakan untuk rangka lantai
(biat) untuk ukuran kecil, tiang pancang (sur) untuk ukuran sedang dan koloum
(hafot) untuk ukuran besar. Jenis kayu ini sangat kuat apabila diawetkan pada
tempat yang kering dan mutunya baik.
d) kayu siah, jenis kayu ini tidak
sekeras kayu yang lain namun bila dikeringkan pada tempat kering maka akan
keras, kayu ini kebanyakan di gunakan sebagai bahan struktur rangka atap atau
reng (ara soom) dan struktur lantai (biat). Warnanya putih dan banyak cabang.
e) kayu srah (gagar), kayu ini tidak digunakan
untuk apa – apa tetapi hanya biasanya digunakan sebagai bahan utama penyusunan
lantai (msyien rmah) dan pengait jahitan atap, jenis kayu ini sangat keras
tidak mudah dipatahkan apalagi yang jenisnya lebih tua, yang mana warnanya
menjadi hitam, jenis kayu ini tidak utuh tetapi sumbunya sangat besar dan yang
biasanya di pergunakan adalah bagian pembungkusnya.
f)
kayu
bta-bta (palem hutan) warnanya merah dan mirib dengan gagar (srah) namun
bentuknya lebih besar. Pohon ini biasanya digunakan hanya untuk bahan lantai
(msyien rmah) dan pengait jahitan atap.
Filosofi Simbol Kebesaran pada Ornament.
Jika
konsep-konsep dalam pandangan hidup itu salin terkait erat dan merupakan
kesatuan pemikiran maka pandangan hidup adalah bangunan konsep yang terdapat
dalam pikiran seseorang atau jaringan berfikir (mental network) yang berupa
keseluruhan yang saling berhubugan (architectonic whole). Bangunan konsep itu
terbentuk dalam alam pikiran seseorang secara perlahan-lahan (in a gradual
manner), bermula dari akumulasi konsep-konsep dan sikap mental yang
dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya, sehingga akhirnya membentuk
framework berfikir (mental framework). Secara epistemologis proses berfikir ini
sama dengan cara kita mencari dan memperoleh ilmu, yaitu akumulasi pengetahuan
apriori dan aposteriori. Proses itu dapat dijelaskan sebagai berikut: ilmu
pengetahuan yang diperoleh seseorang itu sudah tentu terdiri dari berbagai konsep
dalam bentuk ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan lain-lain yang kesemuanya
membentuk suatu totalitas konsep yang saling berkaitan dan terorganisasikan
dalam suatu jaringan (network). Jaringan ini membentuk struktur berfikir
yang koheren yaitu suatu keseluruhan yang saling berhubungan. Maka dari itu
pandangan hidup atau filosofis seseorang
itu terbentuk tidak lama setelah pengetahuan yang diperoleh dalam bentuk
konsep-konsep itu membentuk suatu keseluruhan yang saling berhubungan.
Konsep-konsep yang terakumulasi itu sudah tentu melalui proses dan mekanisme
mengetahui yang menerima dan menolak pengetahuan yang diperolehnya secara
selektif. Artinya ketika akal seseorang menerima pengetahuan terjadi proses
seleksi yang alami, dimana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang
lain ditolak. Pengetahuan yang diterima oleh akal kita akan menjadi bagian dari
struktur worldview yang dimilikinya dan jika akal tidak menerimanya ia tidak
menjadi bagian dari pandangan hidup. Orang bisa saja mengetahui faham sekularisme,
misalnya, tapi ia tidak mesti menerima faham itu dan menjadi
sekuler. Jika struktur konsep yang masuk kedalam
pikiran seseorang itu dilacak secara alami maka maka akan kita tau bahwa konsep yang pertama kali
masuk dalam pikiran seseorang adalah tentang kehidupan, termasuk didalamnya
konsep hubungan antar sesama arti dan tujuan hidup (dalam kehidupan
orang Maybrat, Imian, Sawiat, Disebut sebagai sistem RA BOBOT – NA BOBOT - BIG MAN),
cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari, sikap-sikap
individual dan sosialnya, dan sebagainya. Sesudah konsep hidup dan kehidupan
berkembang dalam pikiran seseorang maka secara alami pula konsep mengenai dunia
dimana manusia hidup akan terbentuk. Pandangan dan konsep mengenai dunia di
sekitarnya ini akan melahirkan konsep ilmu pengetahuan. Gabungan dari konsep
kehidupan, dunia dan pengetahuan ini melahirkan konsep yang lebih canggih lagi
yaitu konsep nilai dan moralitas.Dari kombinasi itu semua konsep yang tidak
kalah pentingnya adalah konsep tentang diri manusia itu sendiri yang
diekspresikan dalam pola penataan bangunan sebagai sibol kebesaran. Meskipun pengetahuan yang
diterima oleh akal manusia itu bersifat acak, namun ketika ia terstruktur dalam
pikiran manusia dalam bentuk konsep-konsep ia dapat diindetifikasi.
Ragam hias ornamen pada
sebuah arsitektur baik itu klasik, moderen, post moderen serta rumah tradisional, merupakan salah satu bagian
tersendiri dari bentuk dan corak masing-masing yang
melambangkan spiritualitas, seni, filosofi atau pandangan hidup seseorang atau
kelompok yang ditampilkan.
Ornamen pada sebuah bangunan, Selain
berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik
rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora
dan fauna.
Masyarakat tradisional Indonesia pada umumnya percaya
akan adanya suatu tatanan, aturan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi
di alam dunia yang dilakukan oleh manusia. Tatanan atau aturan itu bersifat
stabil, selaras, dan kekal.
Aturan itu merupakan tatanan budaya sebagai sumber segala kemuliaan dan
kebahagiaan manusia. Apapun yang dilakukan manusia harus sesuai atau selaras
dalam tatanan kehidupan alam sekitarnya. Apabila tidak bertentangan dengan
alam, niscaya hidupnya akan tenang dan damai. Yang menyimpang dari tatanan dan
aturan merupakan "dosa" yang patut menerima sanksi atau hukuman. Masa itu perbuatan manusia selalu
berdimensi dua, dwimatra; yaitu mistik dan simbolik. Untuk megungkap
kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai tanda-tanda atau simbolik, dua
macam tanda penting, pertama: Mitos asal, atau tafsir tentang makna hidup
berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua: Ritual upacara berupa perlakuan
simbolis yang berfungsi untuk memulihkan harmoni tatanan alam dengan manusia,
agar manusia terhindar dari malapetaka dan memberikan keselamatan dan
kesejahteraan dalam kehidupannya. Inilah dasar-dasar filosofi yang mengatur
budaya masyarakat tradisional.
Pola pemikiran
masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya kosmologi. Awalnya,
kehidupan manusia hanya terbatas pada kehidupan dirinya sendiri, egocentrum.
Kemudian manusia mengembangkan dorongan naluri dan nalarnya dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, maka kehidupan egocentrum akan menjadi bagian integral dari
kehidupan habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan budaya atau
kebudayaan.
Masyarakat tradisional
sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan leluhur
yang di pengaruhi oleh ethos budaya dan mempunyai sifat-sifat khusus, antara
lain kekhususan itu ditandai dengan cara mempertahankan suasana hidup selaras,
harmonis dan seimbang dengan kehidupan habitat sekitarnya. Keselarasan hubungan
antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, pola hubungan antar manusia.
Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya didasarkan pada anggapan bahwa
eksistensinya hidup dalam kosmos alam raya dipandang sebagai suatu tatanan yang
teratur dan tersusun secara hirarkis dalam sebuah tatanan budaya yang terjaga.
Ketika kita bicara
tentang kebudayaan, maka arsitektur adalah salah satu hasil karya seni budaya
bangsa. Keterkaitan hubungan antara kebudayaan dan arsitektur tergambar pada
telahan masing -masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada
unsur-unsur konsep, cara membangun dan wujud nyata dari bangunan sebagai
lingkungan buatan dalam lingkungan sekitarnya. Telaahan kebudayaan selalu
berpijak pada unsur-unsur buah pikiran ide, perbuatan, sikap dan prilaku
behavior serta hasil karya seni artefak. Arsitektur sebagai hasil karya seni
budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang menjadi bayangan
cerminan dari kehidupan manusianya, dari masa ke masa.
Secara konsepsual
arsitektur, masyarakat tradisional berangkat dari suatu pandangan hidup
ontologis, memahami alam semesta secara universal. Filosofi hidup masyarakat
tradisional menunjukkan upaya
untuk menyempurnakan diri, filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan
manusia barulah sempurna jika berbentuk segi empat, yang merupakan mitos asal
kejadian manusia yang terdiri dari empat unsur, yaitu: tanah, air, api, dan
angin.
Bagi masyarakat
tradisional yang berpikir secara fotolitas, ornament dipengaruhi oleh: Struktur kosmos, dan
filosofi hidup, di
mana alam terbagi atas tiga bagian yaitu alam atas sebagai tempat suci, alam
tengah, sebagai tempat berlangsungnya kehidupan manusia, dan alam bawah, tempat
terjadinya interaksi dengan lingkungan sekitar dan makhluk hidup lainnya.
Ragam hias ornamen pada
rumah tradisional merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak
rumah tradisional dan filosofis sebagai pandangan hidup pemilik. Selain berfungsi sebagai hiasan,
juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya
memiliki pola dasar yang bersumber dari alam flora dan fauna.
Ornamen corak tumbuhan, umumnya bermotifkan bunga/kembang, daun yang memiliki arti rejeki, kebesaran, sakral, kesucian, kekuatan yang tidak putus putusnya,. Ornament disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial.
_______________________________________________________
BAB III
EVOLUSI ARSITEKTUR
MAYBRAT IMIAN SAWIAT
A. Bagaimana Tempat Tinggal Nenek
Moyang Suku Maybrat Imian Sawiat Papua.
Diatas telah disebutkan bahwa rumah leluhur Suku Maybrat Imian Sawiat dibuat dari bahan kayu dan rotan. Hal itu memang dibenarkan dengan suatu pembuktian adanya bukti – bukti otentik serta dengan sebutan nama too (rotan) dan sur (kayu), dan bila dikaji secara jauh kebelakang pada zaman sebelumnya orang-orang Maybrat Imian Sawiat membutuhkan tempat tinggal untuk menanggulangi diri dan keluarga, baik dari hujan, binantan buas, maupun dari para musuh. Mau tidak mau mereka harus berpikir secara praktis dengan berbagai cara telah dilalui guna bertahan hidup, maka pada zaman kuno/prasejarah orang – orang maybrat imian sawiat memanfaatkan gua – gua (isra) sebagai tempat tinggal dimana gua – gua itu membentuk ceruk – ceruk didalam batu karang yang dapat dipakai untuk berteduh. Hingga saat ini belum adanya penelitian tentang gua – gua yang dahulu digunakan sebagai tempat melindungi diri tersebut. Disamping gua – gua, ada pula benda-benda pusaka lainnya yang diwariskan nenekmoyang mereka yang hingga kini masih disimpan.
1. Perkembangan Rumah Tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat
2. Pengaruh agama terhadap bentuk, rancangan, tujuan dan orientasi, khususnya rumah suci atau rumah sekolah tradisional k’wiyon-mbol wofle - tabernakel.
Wujud dan struktur rumah Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan
bangunan tradisional yang mana dapat
dipakai sebagai cermin akan tingkat teknologi, cermin akan gaya hidup (wav of life) serta nilai – nilai
Masyarakat Maybrat Imian Sawiat.
Rumah tradisional Suku Maybrat Imian
Sawiat baik struktur maupun bahan lainya menunjukkan kondisi lingkungan serta
bahan seperti bangunan rumah dari kayu, bambu, dan gaba – gaba. Bahan – bahan
ini membatasi fariasi bentuk atau struktur bangunan, terutama bila dikerjakan
dengan teknologi sederhana. Orang – orang di wilayah Maybrat Imian Sawiat
Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Maybrat yang juga termasuk dalam hutan
tropis, hanya berpikir membuat atap rumah agar memperlancar jatuhnya air hujan
dan sebagai penghambat sinar matahari. Demikian juga ditemukan di daerah rawa –
rawa atau perairan (pesisir) yang juga mendirikan rumah dengan kecenderungan
menggunakan tiang pancang yang tinggi agar menghindar dari pasang surutnya air
payau (air laut).
a. Arsitektur Rumah Tinggal Suku
Maybrat Imian Sawiat
Rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan salah satu Rumah
Tinggal tradisional yang ada di Indonesia. Rumah Tradisional Suku Maybrat Imian
Sawiat adalah sebuah bangunan rumah panggung dari tiang – tiang kayu yang
ukurannya panjang. Tiang yang dipergunakan adalah kayu yang dikategorikan
sebagai jenis kayu yang kuat pada daerah tropis, yang mana disambung dari satu
struktur ke struktur yang lain dengan saling berkaitan serta berpegangan kuat
sehingga membentuk rumah.
Dari segi organisasi ruang, rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat
dibagi dalam dua bagian utama yaitu : Isit
(teras) dan Samu Mato (ruang
dalam/interior). Sedangkan untuk K’wiyon-bol
wofle (Rumah Suci/Sekolah/kemah) memiliki : Bohra mne atau disebut kre
finya (Halaman Luar), kre ra sme
(Ruang Suci), dan samu mato ro mbaouw toni (Ruang Maha Suci).
1. Fase Keempat, pada fase ini merupakan fase yang sudah dipengaruhi oleh moderenisasi dan teknologi . Perabot sudah serba moderen, dan perdagangan sudah sangat meluas menelusuri dan menyusup masuk ke seluruh perkampungan Maybrat Imian Sawiat di wilayah Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Maybrat Province Papua, dan manusianya sudah menjadi orang-orang yang berhasil. Bagi masyarakat Maybrat Imian Sawiat, pendidikan sangat penting bagi mereka, karena pendidikan menandakan bahwa masa depan itu ada. Pembangunan rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat ini tidak lepas dari budaya yang berkembang di Masyarakatnya. Sebagai Masyarakat yang asal usulnya dikenal dengan manusia Nelayan, Petani dan Pemburu, maka tak herang kalau mereka mengenal budaya Wiyon/wofle. Wiyon/wofle itu sendiri adalah faktor – faktor yang menjadi pertimbangan Masyarakat Suku Maybrat, Imian, Sawiat, untuk mendirikan rumah. Faktor – faktor tersebut adalah Pola hidup, mata pencaharian, pengetahuan akan lingkungan alam, Agama dan kepercayaan. Sampai sekarang pola rumah ini cenderung tetap bertahan, namun adanya keraguan akan keeksistensiannya hingga tahun 2025, karena suku Maybrat, Imian, Sawiat, cenderung mengembangkan arsitektur barat ketimbang arsitektur tradisional mereka, walau sebagai masyarakat petani dan pemburu yang masih lekat dengan kebudayaan mereka yang pasti dalam mempertahankan nilai – nilai dan bentuk – bentuk tradisionalnya, karena secara keseluruhan masyarakat, alam dan bangunan telah menyatu dalam nilai budaya yang utuh namun hanya sebatas mengetahui, karena hingga kini kecenderungan orang Maybrat Imian Sawiat dalam mengembang moderenkan arsitektur tradisional mereka tidak terlihat (kurang adanya pengeksplorasian). Perlu diketahui bahwa perumahan suku Maybrat Imian Sawit ini berada di wilayah alam hutan dengan kondisi alam yang sangat keras. Dalam hal ini dapat digambarkan bahwa alam Papua umumnya dan alam sekitar perumahan suku Maybrat Imian Sawiat dikenal dengan alam yang penuh dengan gunung - gunung, lembah, tebing terjal, hutan, semak belukar dan lereng perbukitan. Hal ini akan menjadi tantangan bagi rumah yang berhubungan langsung dengan alam homogen untuk tetap bertahan, karena disamping menyesuaikan diri dengan pengaruh alam sekitar, juga masalah kelembaban yang ditimbulkan dari alam. Kencangnya angin yang bertiup dari daratan pada malam hari dapat merubah suhu udara menjadi sangat dingin dan curah hujan didaerah ini terjadi sepanjang tahun. Hal ini tentunya mendatangkan masalah tersendiri yang sangat penting untuk diperhatikan bagi para petani yang berkebun dan pemburu. Keberhasilan atau kelanggengan perumahan ini untuk tetap bertahan hingga kini, berarti membuktikan bahwa keterujiannya untuk mengantisipasi kondisi iklim lingkungannya. Ketangguhan rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat beserta nilai – nilai budaya masyarakatnya terhadap pengaruh iklim lingkungannya hingga kenyamanan thermal dalam ruang dan keselamatan dari serangan – serangan dapat tercapai, hingga terasa perlu untuk dipertahankan dan menarik untuk ditulis.
a.
Pola Hunian
Ada tiga macam pola hunian yang
popular di gunakan dalam penataan suatu hunian kota (urban space) yaitu; pola
linear, grid dan polar. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, cenderung mengembangkan
pola hunian memanjang (polar) yang mana cenderung mengikuti jalan, aliran
sungai, pesisir pantai dan lereng perbukitan.
1.
Pola
Hunian
Wilayah
Pesisir
Peralihan
Bangunan rumahnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut (payau) dan situasi lingkungan
Pola Hunian Wilayah Daratan
a. Di tanah darat
Bangunan rumahnya tidak dipengaruhi, atau merupakan pola hunian yang sudah berkembang moderen.
Bangunan rumahnya dipengaruhi oleh alur jalan dan bentuk bangunannya disesuaikan dengan perkembangan tata ruang.
A.4. Kondisi Hunian
1. Kondisi Fisik Lahan
Secara umum, struktur tanah di
Distrik Ayamaru, Aitinyo, Aifat, Kabupaten Maybrat, Sawiat dan Teminabuan
Kabupaten Sorong Selatan, terdiri dari beberapa jenis antara lain; jenis
alluvial, mediterania, padzoik, latosol, organosol, litosol dan gambut.
Sedangkan jenis tanah yang ada secara umum antara lain tanah kemerahan, tanah
endapan alluvial, dan tanah alluvial muda.
2.
Kondisi
Permukiman
Pusat permukiman di wilayah Maybrat
Imian Sawiat berada pada lingkungan dataran rendah (Pesisir pantai), dataran
datar (daratan datar), dataran Tinggi (pegunungan) yang disebut Plato Ayamaru.
Tata letak perkampungan di Wilayah, Maybrat, Imian Sawiat, umumnya memanjang sejajar (polar) ada
yang mengikuti Jalan, sungai, dan alur perbukitan dan gunung.
Bentuk permukiman Masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, dikenal dengan permukiman Marga atau Keret – klen dan berkembang menjadi
komplek. Yang mana bila disatu
marga keluarga yang tinggal di salah satu sudut kampung disana akan berkumpul
keluarga dan marga atau keret yang sama.
Permukaan perkampungan wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, berupa banguan panggung dengan bahan konstruksi utama kayu
sebagai struktur utama dan rotan sebagai pengikat. Umumnya masyarakat di
wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, mengenal jenis kayu yang
daya tahannya cukup besar baik terhadap pengaruh air laut dan daratan.
Biasanya untuk kayu yang mempunyai kualitas terbaik, digunakan pada
bangunan yang sering terrendam air, khusus untuk bangunan pada areal pesisir
dan untuk jenis kayu pada daerah daratan adalah kayu yang daya tahannya kuat
terhadap rayap (fom). Orang Maybrat, Imian, Sawiat, sangat jeli dalam memilih
bahan-bahan karena kekuatan suatu bangunan dipengaruhi oleh jenis – jenis kayu
yang digunakan dalam mendirikan suatu bangunan rumah hunian tersebut.
Untuk matahari, dinding umumnya menggunakan kayu, gaba – gaba, dan kulit
kayu. Untuk lantai umumnya memakai gagar
dan palem. Sedangkan untuk material atap rumah, sesuai dengan sumber daya alam
setempat adalah dedaunan yang dianyam/diraut atau
diramu menjadi atap, yaitu seperti daun sagu, daun tikar (pandanus), dan daun
nipa. Selain mudah didapat, lebih tahan terhadap pengaruh iklim sekitar dan
dapat meredam panas matahari sehingga ruang dalam rumah tetap sejuk. Sebaliknya
atap seng menurut pengalaman mereka, selain mahal juga mudah berkarat dan ruang
dalam rumah lebih panas pada siang hari.
Sungguhpun demikian, cukup banyak rumah telah beratap seng. Tampaknya
penggunaan bahan ini lebih mencerminkan kemampuan ekonomi pemilik rumah
bersangkutan.
Secara sederhana Suku Maybrat, Imian, Sawiat, adalah merupakan masyarakat yang
mendiami daerah pesisir dan pegunungan yang berkumpul sekelompok orang yang
kehidupan mereka tergantung pada laut bagi kelompok yang mendiami daerah
pesisir, dan tergantung pada pertanian bagi kelompok yang mendiami daerah
pegunungan. Yang mana terungkap bahwa Suku Maybrat, Imian, Sawiat, berada dalam kehidupan budaya
bertani dan nelayan atau kehidupan yang mendapatkan inspirasi dan kreativitas
dari suasana lautan dan daratan.
Pengetahuan atau konsepsi Suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang berkaitan dengan daratan dan perairan adalah sebagai sarana
kehidupan dan perhubungan bahkan sebagai ruang produksi, yang keduanya akan
diuraikan sebagai berikut :
a. Peranan Laut sebagai Prasarana
Perhubungan Pesisir
Hubungan antar tempat dipantai lebih lancar daripada
hubungan antar pantai dengan pedalaman darat di zaman kuno, bahkan bagi Suku
Maybrat, Imian, Sawiat, masih nampak yang mana
permukiman penduduk mereka pada mulanya berada di pantai, dan perairan laut
yang telah memperoleh peran sebagai prasarana perhubungan, sebagai gerak -
gerik laut telah menjadi pengetahuan warga yang menggunakannya. Pengetahuan
diturunkan dari generasi ke generasi baik melalui ajaran
maupun melalui semacam permagangan. Contoh pemagangan adalah orang tua mengajak
anaknya untuk melaut atau orang tua mengajak anaknya untuk berkebun dan
berburu.
Pengetahuan Suku Maybrat, Imian, Sawiat, tersebut diatas ada yang langsung dan ada yang tidak langsung mengenai
perairan laut. Pengetahuan langsung, antara lain berkenaan dengan pasang surut,
arus, gelombang, dan kedalaman. Pengetahuan tidak langsung adalah gejala diluar
perairan laut, tetapi diketahui dan disadari dapat mempengaruhi gerak - gerik
laut, seperti per-awanan, angin, kedudukan bulan dan bintang.
Pengetahuan itu mereka gunakan benar – benar dengan
maksud menyelesaikan pelayaran dengan selamat dan cepat. Mereka mampu antara
lain mengubah arah dalam penggalan – penggalan pelayaran mereka sesuai dengan
jenis alat angkut yang mereka gunakan dengan kondisi perairan.
b. Peranan Daratan Sebagai Areal Kehidupan
Walau diketahui peran laut sebagai prasarana daerah
pesisir yang lebih lancar, namun orang – orang Maybrat, Imian, Sawiat, juga membutuhkan daratan sebagai
areal kehidupan. Daratan sebagai areal kehidupan yang mana menyediakan bahan
hasil perkebunan. Karena walaupun mereka yang hidupnya di daerah pesisir yang
mata pencahariannya adalah nelayan namun membutuhkan makanan berat seperti
keladi, petatas, sagu dll.
Daratan merupakan tempat bercocok tanam bagi Suku
Maybrat, Imian, Sawiat, walau ia seorang nelayan sekalipun.
c. Daratan dan Laut Sebagai Ruang
Produksi
Penggunaan daratan dan laut sebagai ruang produksi
sudah sejak zaman kuno dikenal oleh Suku
Maybrat, Imian, Sawiat, baik yang sebagai petani bahkan nelayan. Bagi
para nelayan sering mengembara jauh dari permukimannya. Jangkauan jauh seperti
ini antara lain dituntun oleh pengalaman para pelaut berpengalaman tentang
musim – musim penangkapan ikan tertentu dikawasan tertentu.
Bagi para petani, untuk mencapai suatu lahan terluas
dalam berkebun, membutuhkan tenaga dan energi yang semangat, petani sering
bekerja dengan kerajinan dan tenaga yang ia miliki. Bagi seorang calon petani
hendaknya diajari tentang bagaimana memegang alat – alat kerja, karena jika
sudah berpengalaman, maka ia akan sebagai orang yang berhasil dalam
memprodusksikan hasil pertanian yang
berlimpah.
Kehidupan Suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang berprofesi sebagai nelayan umumnya terisolasi dari kehidupan
masyarakat didaratan. Namun demikian masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, pada umumnya antara nelayan dan non nelayan hidup dalam satu wilayah
kampung, namun ada kecenderungan pengelompokan permukiman menurut marga atau
keret-klen (familly) dan jenis pekerjaan mereka. Pergaulan para nelayan
penangkap ikan cenderung terbatas dengan persediaan logistik. Pola makan para
nelayan biasanya sangat sederhana, karena mereka terbiasa dengan persediaan
logistik terbatas ketika mereka berlayar bila dibanding dengan pola makan para
petani yang biasanya sangat banyak akan makanannya.
d. Mata Pencaharian
Salah satu sistem budaya wiyon/wofle yang
mempengaruhi bentuk rumah tinggal Suku Maybrat, Imian, Sawiat, adalah mata pencaharian dan situasi lingkungan.
Umumnya mata pencaharian yang mendominasi penduduk
Maybrat, Imian, Sawiat, adalah Bertani dan Memburu,
sedangkan berikutnya adalah nelayan, yang setiap hari waktunya di kebun, hutan
dan laut. Untuk petani berkebun, untuk pemburu di hutan untuk memburu Babi,
Rusa, Kanguru dan Tikus sedangkan untuk nelayan berada di laut untuk mencari
ikan dan hasil perikanan lainnya. Sebagai petani, pemburu dan nelayan, hidup
merekapun tidak jauh dari hutan dan laut bahkan huniannya berhubungan langsung
dengan hutan bagi mereka yang matapencahariannya pemburu dan petani, dan bagi
para nelayan huniannya berhubungan dengan laut. Hal ini tercermin pada bentuk
tatanan huniannya ke arah laut bagi para nelayan yang berbaris disepanjang garis pantai,
begitupun mereka yang di daratan yang mana bangunannya berorientasi pada arah
jalan dan berhubungan langsung dengan alam bebas.
Bentuk tampilan seperti rumah gantung atau rumah
panggung, juga mempunyai hubungan erat dengan
mata pencaharian mereka sebagai petani, pemburu dan nelayan. Dapat
dilihat pada kolong rumah yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat –
alat perburuan bagi para petani dan pemburu sedangkan bagi para nelayan dapat
dilihat bahwa kolong rumahnya difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat –
alat perikanan seperti pukat, jaring dan lain – lain. Sedangkan bagian hunian
yang berada di hamparan air, kolong rumahnya difungsikan sebagai sandaran atau
parkiran perahu yang mereka gunakan sebagai alat transportasi.
e. Pola Hidup
Salah satu sistem budaya wiyon/wofle yang
mempengaruhi bentuk rumah tinggal Suku Maybrat, Imian, Sawiat, adalah pola hidup. Pola hidup di ekspresikan melalui tingkah laku
manusia. Bahwa membangun sebuah rumah merupakan gejala budaya, maka bentuk
pengaturan ini dipengaruhi oleh budaya lingkungan pergaulan dimana bangunan itu
berada dan bentuk rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor atau faktor
tunggal lainnya, tetapi merupakan konsekwensi dan cakupan faktor – faktor budaya dalam pengertian yang luas.
Budaya yang menyangkut perilaku manusia dalam
kehidupan keseharian yang mewarnai kehidupan masyarakat Suku Maybrat, Imian, Sawiat, adalah kebiasan masyarakat dalam menampung kayu bakar untuk keperluan
masak dan penghangat tubuh. Keperluan akan suhu penghangat tubuh mempengaruhi bentuk
dan kemiringan atap rumah tinggal yang cenderung sangat miring hingga bisa
menutup dinding.
Kebiasaan masyarakat untuk mencuci, mandi, dan buang
air didaratan hutan sehingga pada huniannya tidak tersedia KM/WC. Sertamerta
perilaku anak- anak dalam bermain seperti kebiasaan bermain di hutan (memburu
burung, tikus, babi, rusa dan telor maleo) yang mana dijumpai pada anak – anak
yang hidup di daerah pegunungan sedangkan bagi anak – anak di daerah pesisir
pantai dalam bermain kebiasaannya bermain di laut (berenang, menyelam,
memancing, mencari kerang dan lain - lain), sehingga mengakibatkan tidak
tersediannya open space di darat.
Kebiasaan dan perilaku masyarakat tersebut secara tidak langsung akan
mempengaruhi bentuk arsitektur di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat.
f.
Lingkungan
Alam
Kerasnya lingkungan alam dan situasi kehidupan yang
serba saling membunuh (perang-perangan), dapat menjadi tantangan utama yang
menantang suku Maybra,t Imian, Sawiat, untuk bertahan hidup. Sebagai
masyarakat petani di daerah pegunungan yang seluruh hidupnya dihabiskan di
kebun dan hutan, dan untuk masyarakt pantai yang
menghabiskan hidupnya di laut, suku Maybrat, Imian, Sawiat, mampu mengatasi dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Untuk merespon
keadaan alam dan situasi lingkungannya seperti terpaan gelombang, angin
kencang, kelembaban yang tinggi, dan tekanan musuh, masyarakat suku Maybrat, Imian, Sawiat, mengatasi dengan cara dan pengetahuan yang dimiliki oleh mereka.
Untuk mengatasi terpaan angin kencang sudah menjadi
gejala alam di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat. Untuk mengatasi hal tersebut, suku Maybrat, Imian, Sawiat, membangun rumah dengan konstruksi dari kayu dan antara elemen satu
dengan lainnya dikaitkan membentuk suatu struktur yang kaku, namun cukup
elastis dan fleksibel, Sehingga apabila terjadi terpaan angin kencang, rumah
dengan konstruksi kayu ini tidak akan roboh tapi hanya melenggang saja.
Angin kencang yang bertiup dari arah laut pada dini hari dan pagi hari, memaksa warga suku Maybrat, Imian, Sawiat, khusunya dalam peralihan bentuk dan tampilan bangunan yang relatif tertutup. Bukaan – bukaan dibuat relatif kecil, dan jendela (bukaan) diganti dengan kisi – kisi untuk penghawaan dalam ruang.
3.
Kehidupan Sosial Budaya Zaman Prasejarah – Zaman Sejarah.
a.
Budaya
Berbahasa.
1)
Untuk
Suku Maybrat berbahasa Maybrat
Suku
ini Mendiami Distrik Ayamaru, Aitinyo, Aifat, Teminabuan dan sebagian Sawiat.
Berikut kita akan berkenalan dengan tata bahasa Maybrat yang mana disusun dalam
tiga bahasa yaitu bahasa Maybrat, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Lihat
dihalaman Lampiran.
2)
Untuk
Suku Imian berbahasa Imian
Suku Ini mendiami distrik Imian Sawiat, Teminabuan.
Untuk bahasa Imian memiliki perbedaan yang signifikan baik pelafalan, ucapan
dan makna dengan bahasa Maybrat, dan Sawiat, walaupun ada beberapa kata yang
sama yang mana diadopsi dari bahasa Maybrat dan Sawiat sebagai pelengkap,
demikian sebaliknya bagi pengguna bahasa Sawiat dan Maybrat.
3)
Untuk
Suku Sawiat berbahasa Sawiat
Suku Ini Mendiami Distrik Imian Sawiat, Teminabuan
dan sebagian Maybrat.
Untuk budaya penggunaan bahasa, bagi
masing – masing suku tersebut memiliki perbedaan bahasa begitu mencolok,
misalnya dari sebutannya, dialeknya dan artinya. Bagi kehidupan sosial dalam berhubungan
inter-relasi antar mereka, yang bisa secara gamblang mampu menggunakan dua
bahasa adalah mereka yang hidupnya tepat pada perkampungan yang letaknya
berbatasan antara satu distrik dengan bahasa berbeda dengan distrik yang lain.
Seperti kampung Sauf, Soroan, Mahajan, Segior, Sengguer, Keyen, Moswaren dan
boldon yang mana letak kampungnya berbatasan langsung antara Suku Maybrat yang
menggunakan bahasa Maybrat dan Suku Sawiat yang menggunakan Bahasa Sawiat.
Penduduk kampong inilah yang bisa menguasai kedua bahasa tersebut. Sedangkan
Kampung Wehali, Tehit, Imian, Sawiat berbatasan langsung dengan Suku Maybrat yang berbahasa Maybrat dan
Suku Imian yang menggunakan bahasa Imian
dan Suku Sawiat yang menggunakan bahasa Sawiat.
Secara sederhana Suku Maybrat Imian Sawiat adalah merupakan manusia yang
mendiami daerah pesisir dan pegunungan yang berkumpul sekelompok orang yang
kehidupan mereka tergantung pada laut bagi kelompok yang mendiami daerah
pesisir, dan tergantung pada pertanian bagi kelompok yang mendiami daerah
pegunungan. Yang mana terungkap bahwa Suku Maybrat Imian Sawiat berada dalam kehidupan budaya bertani dan
nelayan atau kehidupan yang mendapatkan inspirasi dan kreativitas dari suasana
lautan dan daratan.
Selain kehidupan yang sederhana, masyarakat maybrat imian sawiat mampu
menciptakan berbagai macam kelengkapan kebutuhan hidupnya antara lain adalah :
b.
Buday
Berbusana
Kehidupan mula – mula orang maybrat imian sawiat, sudah mengenal adanya
busana, yang mana busana – busana tersebut memiliki perbedaan – perbedaan
antara busana kaum laki – laki dan busana kaum perempuan. Bagi kaum perempuan, busananya terbuat dari bahan rerumputan (biyait) +
kain selendang (boyan). Sedangkan untuk
kaum laki – laki, busananya terbuat dari kulit kayu yang di gunakan sebagai
cawat/cedaku (git mboh) + kain/selendsng yang juga sebagai cawat atau cedaku
(git boyan). Lihat lampiran gambar orang Maybrat, Imian, Sawiat, dengan
berpakaian busana tradisional mereka berikut:
d. Ukiran
Dalam
perkembangan sejarah manusia, bahwa kehidupan manusia pertama itu berkembang
dengan menggunakan naluri masing – masing yang tidak jauh dari lingkungan kehidupannya.
Mungkinsaja pikiran pokok mereka pada waktu itu adalah “bagaimana ia mendapat
makanan dan bertahan hidup”. Manusia Maybrat, Imian, Sawiat, berkembang dalam pola demikian, bagi orang maybrat imian sawiat tidak
hanya ia berpikir dinamis tetapi statis, pemikiran mereka selalu mengalami
perubahan sejalan dengan perkembangan akan waktu dan tempat.
Pemikiran dan daya pikat manusia pertama yang berkembang dari nol hingga menjadi pemikiran akan kemenangan yang menjadikannya menjadi kuat dan menang terhadap alamnya yang buas. Bagaimanapun perkembangan akal pikiran manusia pertama bisa dibilang terbentuk oleh situasi sekitarnya, misalnya seperti : ketika manusia itu menemukan alat pemotong seperti kapak batu, mungkin saja kita berpikir itu mrupakan cara kebetulan dimana dengan secara tidak sengaja ia memecahkan batu yang menjadi tajam yang selanjutnya ia jadikan sebagai kapak. Namun bila ditelaah seksama, manusia pertama itu terpaksa menciptakan kapak dari batu agar difungsikan sebagai alat yang mampu memotong pohon, kayu dan tumbuh – tumbuhan yang tidak mungkin bisa dipatahkan dengan menggunakan tangan biasa. Atau juga pentungan dan tombak, merupakan hasil karya manusia itu sendiri karena ia diperhadapkan dengan hewan – hewan buruan yang mana tidak mungking dihadapai dengan menggunakan tangan kosong.
d. Payung Tradisional Suku Maybrat Imian
Sawiat Koba
– Koba -
(A’am - Hatik)
Payung tradisional Suku Maybrat
Imian Sawiat (A’am - Hatik), adalah
salah satu alat kelengkapan hidup yang dimiliki oleh orang – orang Maybrat
Imian Sawiat. Payung tradisional ini terbuat dari bahan alami yaitu ; Daun koba – koba (a’am) sejenis tumbuhan
pandanus, yang mana disulam menjadi koba - koba – payung.
Dari ceritera para tetuah, ibu – ibu
dan nenek, mengatakan bahwa payung tradisional orang maybrat imian sawiat (aam -
hatik) atau lazimnya disebut koba – koba terbuat dari daun koba – koba atau
sejenis pandanus yang berbentuk buah merah dan bertumbuh di hutan belantara.
Payung tradisional atau koba – koba merupakan hasil ramuan dari beberapa daun
pandanus / koba –koba yang dijahit dengan menggunakan tali yang mana tali tersebut diambil dari serat kulit
kayu tertentu yang dala bahasa tradisional disebut dengan halelem, yang dikupas dan diawetkan sehingga menjadi tali (Bo kaín) dan digunakan untuk menjahit
koba-koba sehingga akhirnya menjadi payung / koba – koba (aam / hatik). Bentuk ukuran koba – koba
tidak selalu pada satu ukuran saja, melainkan berfariasi tergantung pada sipemakainya.
Ada yang ukuran besar bilamana orang yang memakainnya berukuran badan besar,
namun koba – koba itu akan berukuran sedang dan kecil bilamana pemakainya orang
yang sedang dan kecil. Bila koba – kobanya besar, maka dedaunan yang dibutuhkan
sangat banyak, namun kalau ukuran koba – kobanya kecil dan sedang, maka
dedaunan yang dibutuhkan sedikit. Dalam meramu koba – koba, biasanya merupakan
pekerjaan ibu dan anak perempuan. Setiap ruas koba – koba biasanya dilapisi dua
daun yang dijahit bersesuaian yang mana masing – masing dibagian dalam dan
bagian luar. Dalam proses pembuatan payung tradisional / koba – koba ini
pertama – tama seorang ibu atau seorang permpuan ke hutan belantara untuk mencari pohon pandanus, (aam – hatik mara), setelah di temukan,
pandanus tersebut dipotong dedaunannya yang di anggap bagus dan pantas untuk di
pake sebagai koba – koba. Setelah proses pengambilan dedaunan, selanjutnya daun
tersebut dibersihkan (m’bon aam),
setelah dibersihkan duri – durinya, selanjutnya daun – daun tersebut dijemur (koti) dalam waktu 2 – 3 jam, sesudah di
jemur, selanjutnya daun koba – koba dipanaskan dalam bara api dalam 100 C° (miwiyah aam). Tujuan daripada proses pemanasan daun koba – koba
adalah agar mudah dibentuk – dilipat – dan digulung, kuat dan tidak mudah sobek
karena adanya suatu bentuk kekebalan kulit yang terbentuk ketika dipanaskan.
Setelah proses pemanasan, dedaunan tersebut selanjutnya dibuat ukiran dengan
menggunakan keterampilan jari (m’biji
aam), proses pembauatan ukiran ini melibatkan ayah, ibu, anak laki – laki, anak
perempuan, nenek, tete. Setelah proses pembentukan ukiran, selanjutnya dijahit (sbis aam) , dalam proses menjahit koba
– koba ini, biasanya membutuhkan ekstra konsentrasi, karena jika ada terjadi
kesalahan, maka hasil yang diperoleh
adalah kurang baik (sre sbis).
Contoh dari hasil yang tidak baik tersebut biasanya terihat pada penyusunan
bagis jahitan yang tidak lurus dan berkelok dan tidak bersesuaian (sahrorot). Setelah proses menjahit
pertama atau bisa juga dibilang desain awal atau proses pembentukkan,
selanjutnya proses terakhir, yaitu proses jahit bervariasi (mame aam). Tujuan proses ini adalah untuk membuat estetika, karena
bahan benang yang diambil dari kain kasuban yang berwarna merah, dan han yang
berwarna hitam dan biru. Ketiga warna kain tersebut merupakan bahan utama yang
dibunakan dalam membentuk estetika pada koba – koba.
Fungsi koba – koba adalah sebagai paying, ketika ada hujan dan panas,
sebagai tikar pada waktu tidur, sebagai tastangan pada waktu melakukan
perjalanan jauh atau bepergiam, sebagai pengalas gendongan anak kecil
balita/bay pada waktu anak digendong di belakang punggung (mbin gu mam yu taa.). lihat
gambar berkut:
3. Kebudayaan Zaman Prasejarah Orang Maybrat, Imian Sawiat.
Kebudayaan-kebudayaan prasejarah yang dibedakan menurut bahan alat-alatnya dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu zaman batu dan zaman logam. Zaman logam bukan berarti berakhirnya zaman batu, karena pada zaman logam pun alat-alat dari batu terus berkembang bahkan sampai sekarang. Sesungguhnya nama zaman logam hanyalah untuk menyatakan bahwa pada zaman tersebut alat-alat dari logam telah dikenal dan dipergunakan secara dominan. Zaman logam disebut juga dengan zaman perundagian. Di Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya tidak mengalami zaman tembaga tetapi langsung memasuki zaman perunggu dan besi. Kepandaian mempergunakan bahan baru tentu saja disertai dengan cara kerja yang baru. Sehinga muncul orang-orang terampil (undagi). Selain itu perkembangan orang Maybrat, Imian, Sawiat yang mengarah pada kemajuan di alami dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Bagi orang Maybrat, Imian, Sawiat, alat-alat dari logam tidak hanya digunakan untuk keperluan sehari-hari, akan tetapi alat-alat yang terbuat dari logampun dilibatkan dalam upacara-upacara tertentu misalnya maut hdan, mber wiyon dll. Untuk itu perlu adanya pembahasan lebih lanjut khususnya mengenai masa perundagian di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat secara jelas.
a.
Orang
Maybrat, Imian, Sawiat dan Pembabakan
Zaman
Logam
Pada
zaman Logam orang-orang sudah dapat membuat alat-alat dari logam di samping
alat-alat dari batu. Logam tidak dapat dipukul atau di pecah seperti batu yang
dapat dibentuk sesuai dengan apa yang diharapkan, selain itu logam tidak dapat
dengan mudah diperoleh seperti batu yang banyak terdapat di berbagai tempat.
Semakin berkembangnya pengetahuan sehingga orang Maybrat, Imian, Sawiat,
mengenal bahan dari logam dan mengenal teknik melebur logam, mencetaknya
menjadi alat-alat yang dihendaki sesuai dengan keperluan. Teknik pembuatan alat
logam ada dua macam, yaitu dengan cetakan batu yang disebut bivalve dan
dengan cetakan tanah liat dan lilin yang disebut a cire perdue. Periode
ini juga disebut masa perundagian karena dalam masyarakat timbul golongan
undagi yang terampil melakukan pekerjaan tangan. Zaman logam ini dibagi
menjadi tiga zaman diantaranya :
1)
Zaman Tembaga
Orang
menggunakan tembaga sebagai alat kebudayaan. Alat kebudayaan ini hanya dikenal di beberapa
bagian dunia saja. Di Asia Tenggara (termasuk Maybrat, Imian, Sawiat, Papua Indonesia)
tidak dikenal istilah zaman tembaga.
2)
Zaman Perunggu
Pada
zaman ini orang sudah dapat mencampur tembaga dengan timah dengan perbandingan 3 : 10
sehingga diperoleh logam yang lebih keras. Orang Maybrat, Imian, Sawiat,
mungkin sampai saat ini belum mampu mengolahnya.
3)
Zaman Besi
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk dituang menjadi alat-alat yang diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit dari teknik peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan panas yang sangat tinggi, yaitu ±3500°C. Zaman logam di wilah Maybrat, Imian, Sawiat, Papua Indonesia di dominasi oleh alat-alat dari perunggu sehingga zaman logam juga disebut zaman perunggu. Alat-alat besi yang ditemukan pada zaman logam jumlahnya sedikit dan bentuknya seperti alat-alat perunggu, sebab kebanyakan alat-alat besi, ditemukan pada zaman sejarah. Antara zaman neolitikum dan zaman logam telah berkembang kebudayaan megalithicum, yaitu kebudayaan yang mengunakan media batu-batu besar sebagai alatnya, bahkan puncak kebudayaan megalitikum justru pada zaman logam.
b.
Corak
Kehidupan
Masyarakat
Maybrat, Imian, Sawiat Pada
Zaman
Perundagian.
Kebudayaan dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat dapat bertahan hidup karena menghasilkan kebudayaan, kebudayaan itu ada karena dihasilkan oleh masyarakat. Dan melalui kebudayaanlah segala corak kehidupan masyarakat dapat diketahui. Kebudayaan perungggu Asia Tenggara bisa dinamakan kebudayaan Dongson menurut nama tempat penyelidikan pertama di daerah Tonkin. Disana ditemukan segala macam alat-alat dari perunggu dan nekara, alat-alat dari besi dan kuburan-kuburan zaman itu.
1)
Sistem
Kepercayaan Orang
Maybrat, Imian, Sawiat Zaman Prasejarah.
Sistem kepercayaan prasejarah orang Maybrat, Imian, Sawiat, diperkirakan mulai tumbuh pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau disebut dengan masa bermukim dan berladang yang terjadi pada zaman Mesolitikum. Mengenai bukti adanya kepercayaan orang Maybrat, Imian, Sawiat, pada zaman Mesolitikum dan beberapa bukti lain yang turut memperkuat adanya corak kepercayaan mereka pada zaman prasejarah adalah ditemukannya bekas kaki kiri pada batu prasasti di sungai Weremayis Kampong Sauf, Kbupaten Maybrat dan bekas kaki kanan di Eles daerah Imian Kabupaten Sorong Selatan. Bekas kaki tersebut menggambarkan langkah perjalanan yang akan mengantarkan roh seseorang ke alam baka. Hal ini berarti pada masa tersebut orang Maybrat, Imian, Sawiat, sudah mempercayai akan adanya roh. Kepercayaan terhadap roh terus berkembang pada zaman prasejarah hal ini tampak dari kompleksnya bentuk-bentuk upacara penghormatan, penguburan dan pemberian upeti atau sesajen. Kepercayaan terhadap roh inilah dikenal dengan istilah Aninisme yang disebut dengan wiyon-wofle. Aninisme berasal dari kata Anima artinya jiwa atau roh, sedangkan isme artinya paham atau kepercayaan. Di samping adanya kepercayaan animisme, juga terdapat kepercayaan dinamisme. Dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Contohnya yaitu pohon-pohon besar atau bukit dan pegunungan serta sungai tertentu yang dianggap memiliki kekuatan diwilayah Mereka. Dengan demikian kepercayaan masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, zaman prasejarah adalah animisme dan dinamisme.
c.
Kemasyarakatan
Orang
Maybrat, Imian, Sawiat, Zaman
Prasejaarah.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, orang Maybrat, Imian, Sawiat, hidup berkelompok dalam jumlah yang kecil. Tetapi hubungan antar kelompok sudah mulai erat karena mereka harus bersama-sama menghadapi kondisi alam yang kejam dan berat, sehingga sistem kemasyarakatan yang muncul pada masa tersebut sangat sederhana. Tetapi pada masa bercocok tanam, kehidupan masyarakat yang sudah menetap semakin mengalami perkembangan dan hal inilah yang mendorong masyarakat untuk membentuk keteraturan hidup. Dan aturan hidup dapat terlaksana dengan baik karena adanya seorang pemimpin yang mereka pilih atas dasar musyawarah. Pemilihan pemimpin tentunya tidak dapat dipilih dengan sembarangan, seseorang yang dipilih sebagai pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan dengan roh-roh atau arwah nenek moyang demi keselamatan desa setempat, serta keahlian-keahlian yang lebih. Selanjutnya sistem kemasyarakatan terus mengalami perkembangan khususnya pada masa perundagian. Karena pada masa ini kehidupan masyarakat lebih kompleks. Masyarakat terbagi-bagi menjadi kelompok-kelompok sesuai dengan bidang keahliannya. Masing-masing kelompok memiliki aturan-aturan sendiri, dan di samping adanya aturan yang umum yang menjamin keharmonisan hubungan masing-masing kelompok. Aturan yang umum dibuat atas dasar kesepakatan bersama atau musyawarah dalam kehidupan yang demokratis. Dengan demikian sistem kemasyarakatan pada masa prasejarah di Indonesia telah dilandasi dengan musyawarah dan gotong royong.
d.
Pola Pertanian
Orang
Maybrat, Imian, Sawiat, Zaman
Prasejarah.
Sistem pertanian yang dikenal oleh orang Maybrat, Imian, Sawat, prasejarah pada awalnya adalah perladangan, yang hanya mengandalkan pada humus, sehingga bentuk pertanian ini wujudnya berpindah tempat sesuai dengan tingkat kesuburan tanah. Apabila mereka menilai tanah sudah tidak lagi subur atau tidak ada humus, maka mereka akan berpindah atau mencari tempat yang dianggap subur atau dapat di tanami tanam-tanaman. Selanjutnya mereka mulai mengembangkan sistem mencari makanan dan menyimpannya (food and carering), sehingga tidak lagi berpindah-pindah dengan cepat, dan berusaha mengatasi pola makanannya dengan baik. Sistem ini dikenal oleh orang Maybrat, Imian, Sawiat, prasejarah pada masa neolithikum, karena pada masa tersebut kehidupan mereka sudah menetap dan teratur. Pada masa perundagian sistem pertanian mengalami perkembangan mengingat adanya spesialisasi atau pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan, Sehingga orang Maybrat, Imian, Sawiat, saman prasejarah semakin mahir dalam persaudaraan.
e.
Sosial – Ekonomi Orang Maybrat, Imian, Sawiat Zaman Prasejarah.
Perkembangan kondisi sosial ekonomi orang Maybrat, Imian,
Sawiat, masa Prasejarah sebenarnya mulai terlihat pada masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat lanjut atau zaman Mesolitik. Pada masa ini
orang Maybrat, Imian, Sawiat mulai menyadari pentingnya pola kehidupan menetap
pada suatu tempat. Hal ini disebabkan adanya kemajuan dan perkembangan pengetahuan
orang Maybrat, Imian, Sawiat, pada masa itu dalam berusaha mengolah alam
lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Pada kehidupan menetap ini kemudian memunculkan bentuk-bentuk rumah yang
sangat sederhana sebagai tempat tinggal, tempat berlindung terhadap iklim dan
cuaca, serta terhadap gangguan binatang buas. Berdasarkan penelitian kami
tentang rumah hunian pertama orang Maybrat, Imian, Sawiat, bisa diperkirakan
bahwa bentuk rumah tinggal awal sekali
adalah berukuran kecil, berbentuk segi panjang dan kebulat-bulatan mengikuti saran burun dengan
atap yang dibuat dari daun-daunan. Bentuk rumah semacam ini merupakan bentuk
awal rumah wilayah Maybrat, Imian Sawiat, dan sampai saat ini masih dijumpai di
daerah-daerah perkampungan terpencil di kebun. Berawal dari adanya
kelompok-kelompok masyarakat dalam suatu daerah tertentu, dan mengalami
perubahan yang mengarah kepada sistem komunual. Di samping itu teknologi pembuatan perkakas juga
semakin maju. Hal ini terbukti dengan mulai ditemukannya alat-alat batu yang
diasah secara halus, yaitu yang dikenal dengan beliung persegi. Kemajuan pada
aspek teknologi ini selanjutnya memunculkan adanya stratifikasi sosial tertentu
dalam komunitas
mereka. misalnya muncul golongan-golongan yang pandai dalam
membuat beliung persegi, mulai dari pembuatan bentuk dasar (plank) hingga
menjadi beliung persegi yang siap pakai. Selanjutnya dikenal pula teknologi
pembuatan tastangan sebagi salah satu sarana kebutuhan hidup sehari-hari yang
sangat penting. Di sinipun akan memunculkan golongan-golongan tertentu dalam komunitas mereka yang
memiliki kepandaian dalam pembuatan tastangan. Perkembangan lainnya yang sangat
mendasar pada masa ini adalah mulai dikenalnya bercocok tanam sederhana, yaitu
dengan Sistem Tebas-Bakar. Pada masa perundagian ini pola kehidupan
perkampungan mengalami perkembangan dan semakin besar, hal ini disebabkan
dengan mulai bersatunya kampung- kampung, atau terjadinya sebuah desa yang
besar. Munculnya desa-desa besar ini salah satunya disebabkan semakin tinggi
frekuensi perdagangan antar perkampungan dalam bentuk tukar menukar barang (barter)
dan juga salah satu
pengaruh utamanya adalah perdagangan
atau bermain kain timur. Perpindahan penduduk melalui jalur perkawinan juga
menjadi penyebab semakin padatnya populasi penduduk dalam suatu
perkampungan.
Dengan semakin luasnya hubungan antar wilayah maka
kegiatan perdagangan pada masa perundagianpun menjadi semakin berkembang.
Jenis-jenis barang daganganpun semakin kompleks karena hubungan-hubungan
tersebut telah mencakup wilayah yang sangat luas. Hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya temuan benda-benda perunggu yang tersebar hampir di seluruh
wilayah Papua
khususnya wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, yang berasal dari kebudayaan
Dong Son di
Vietnam Utara.
Dalam kehidupan perkampungan ini mata pencaharian pokok orang Maybrat, Imian, Sawiat, adalah
pertanian yang mulai dilakukan secara lebih teratur dan maju, yaitu dengan
sistem tebas bakar. Hal ini juga didukung dengan semakin majunya sistem
teknologi cetak peralatan dari logam (khususnya perunggu) untuk keperluan
mengolah kebun. Usaha-usaha domestikasi hewanpun semakin memperlihatkan
kemajuannya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan-temuan tulang-tulang
hewan seperti anjing, dan beberapa jenis unggas pemukiman. Kemungkinan
dilakukan untuk persediaan bahan makanan hewani, meskipun kegiatan perburuan
masih dilakukan walau dengan jumlah yang lebih berkurang.
Salah satu benda perunggu yang memiliki nilai estetika
dan ekonomis sangat tinggi, dan ditemukan hampir di seluruh wilayah Asia
Tenggara adalah nekara. Nekara tersebut merupakan hasil kebudayaan Dongson di
Vietnam Utara yang kemudian menyebar hampir seluruh wilayah Asia Tenggara hingga kewilayah Maybrat, Imian,
Sawiat Papua. Hal ini sekali lagi telah membuktikan adanya hubungan
secara sosial-ekonomis antara wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, melalui
kesultanan Ternate-Tidore dengan wilayah Asia Tenggara lainnya cukup lancar pada zaman itu.
Kegiatan ekonomis dalam bentuk perdagangan didorong oleh adanya temuan alat-alat transportasi air, yaitu perahu sampan. Bentuk-bentuk perdagangan pada umumnya dilakukan dengan sistem tukar barang dengan barang. Kelangsungan hubungan perdagangan yang secara terus menerus dan cenderung semakin kompleks tersebut pada akhirnya memunculkan apa yang disebut dengan pasar dalam cakupan arti yang sederhana.
F Sosial – Budaya Orang Maybrat, Imian, Sawiat, Zaman
Prasejarah.
Seni ukir yang diterapkan oleh orang Maybrat,
Imian, Sawiat, pada benda-benda masa megalitikum dan seni hias pada benda-benda
perunggu menggunakan pola-pola geometrik sebagai pola hias utama. Hal ini
terlihat dari temuan pada ukiran cangkir minuman (hawereh) di kampung Sauf yang
menggambarkan bintang, perahu dan melukis unsur-unsur dalam kehidupan yang
dianggap penting.
Pahatan-pahatan pada kayu untuk menggambarkan orang atau
binatang menghasilkan bentuk yang bergaya dinamis dan memperlihatkan gerak.
Terdapat pula kecenderungan untuk melukiskan hal-hal yang bersifat simbolis dan
abstrak-stelistis, seperti yang tampak pada gambar-gambar manusia yang diukir
sebagai bulu burung bermata lingkaran pada hulu kampak, seloki minuman
(hawereh), dan bambu yang dipakai sebagai minuman (tbil).
Berbagai benda diciptakan guna keperluan religius.pola
mata kalung yang dipakai dan pada beberapa jenis heger berfungsi magis sebagai
penolak bahaya. Yang sangat menonjol pada masa perundagian ini adalah segi
kepercayaan kepada pengaruh arwah (roh) nenek moyang terhadap perjalanan hidup
manusia dan masyarakatnya. Dengan demikian pula kepada orang-orang yang
meninggal diberikan penghormatan dan persajian selengkap mungkin dengan maksud
mengantar arwah dengan sebaik-baiknya ketempat tujuanya, yaitu dunia arwah.
Kehidupan dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, pada
masa perundagian memperlihatkan rasa solidaritas yang kuat. Peranan solidaritas
ini tertanan dalam hati setiap orang sebagai warisan yang telah berlaku sejak
nenek moyang. Adat kebiasaan dan kepercayaan merupakan pengikat yang kuat dalam
mewujudkan sifat itu. Akibatnya, kebebasan individu agak terbatas karena
adanya aturan-atauran yang apabila dilanggar akan membahayakan masyarakat. Pada
masa ini sudah ada kalkus kepemimpinan dan pemujaan kepada sesuatu yang suci
diluar diri manusia yang tidak mungkin disaingi serta berada diluar batas
kemampuan manusia yang disebut wiyon-wofle.
Dalam masyarakat ini mulai jelas mulai tampak perbedaan golongan-golongan tertentu seperti golongan big man - bobot, pengatur upacara-upacara (raa wiyon-na wofle) yang berhubungan dengan kepercayaan, petani, pedagang dan pembuat benda-benda dari kayu (pemahat).
9.
Kemajuan Teknologi
Pada bidang teknologi, di samping berusaha menciptakan perkakas untuk
keperluan sehari-hari, kemudian mengalami kemajuan dengan mulai diciptakannya
benda-benda yang tidak saja bernilai profan tetapi yang bernilai estetika dan
ekonomis. Pada teknologi pembuatan tastangan misalnya, ternyata di samping
membuat untuk keperluan sehari-hari, mulai dilakukan juga pembuatan tastangan
yang bernilai seni dan ekonomis. Hal ini dapat dilihat bahwa selain membuat
benda-benda berupa cawan, seloki, juga mulai dibuat bentuk-bentuk tastangan
dengan aneka motif hiasan. Keragaman bentuk dan motif hias cawan oleh orang
Maybrat, Imian, Sawiat, ini kemudian memunculkan beberapa kompleks pembuatan
barang-barang lain yang sangat menonjol, antara lain kompleks tas tangan (yu
kom).
Pada teknologi pembuatan benda-benda logam (khusus perunggu) kemudian juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di samping membuat perkakas untuk keperluan sehari-hari (misalnya kapak, corong, tajak dan sebagainya) mulai dikembangkan pula pembuatan benda-benda yang memiliki nilai estetika dan ekonomis, misalnya nekara, gelang, cincin, bandul kalung, dan sebagainya. Benda-benda tersebut ternyata menjadi salah satu komoditi dalam hubungan perdagangan antara Indonesia dengan wilayah Asia Tenggara lainnya.
10. Kemahiran Membuat Alat
Dalam masa perundagian
ini, teknologi berkembang dengan pesat. Di pihak lain, terjadi peningkatan
usaha perdaganganyang mengalami kemajuan. Teknologi pelayaran juga menentukan
perkembangan teknologi secara umum. Hal tersebut berpengaruh pula pada sistem
sosial yang telah mengklasifikasikan dari dalam segmen-segmen sosial-ekonomi karena
pola-polanya telah terbentuk.
Pada masa ini merupakan
awal dari kemajuan, karena di zaman perundagian ini sudah mulai menganal teknik
peleburan, percampuran, penempaan dan pencetakan jenis-jenis logam seperti
tembaga, perunggu dan besi.
Di Asia Tenggara logam
mulai dikenal kia-kira 3000-2000 S.M. Di Indonesia penggunaan logam diketahui
pada masa beberapa abad sebelum masehi, hal ini berdasarkan temuan-temuan
arkeologis. Indonesia hanya menganal alat-alat yang dibuat dari perunggu dan
besi, sedangkan perhiasan telah mengenal emas.
Penggunaan logam tidak
seketika menyeluruh di Indonesia, tetapi berjalan setahap demi setahap.
Sedangkan beliung dan kampak batu masih digunakan. Benda-benda perunggu yang
ditemukan di Indonesia menunjukan persamaan dengan temuan-temuan di Deng Son
(Vietnam) diperkirakan adanya hubungan budaya.
Di wilayah Maybrat,
Imian, Sawiat terdapat Jenis-jenis perhiasan yang beraneka ragam berupa gelang,
cincin, bandul, kalung dan sebagainya yang terbuat dari perunggu, kulit kerang,
tulang, batu dan kaca.
a.
Benda – Benda Perunggu
Jenis
benda perunggu yang dikenal di Indonesia ialah nekara, kapak, bejana, boneka
atau patung, perhiasan dan senjata. Namaun yang menarikperhatian adalah nekara.
Benda-benda lain sebenarnya telah mendapatkan perhatian sejak abad ke-19,
misalnya kapak corong, cincin, mata tombak, kapak upacara (candrasa).
Dari
penyelidikan dalam zaman perundagian pula orang-orang telah pandai membuat dan
menuang kaca. Hanya saja tekniknya masih sederhana kadang masih tercampur
pasir.
b.
Kapak
Perunggu
Secara
tipologi,
kapak perunggu dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu kapak corong dan
kapak upacara. Kapak corong disebut juga kapak sepatu, maksudnya
kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya belah, sedangkan
dalam corong itulah dimasukan tangkai kayunya yang menyiku kepada bidang kapak.
Jadi seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan tangkainya diibaratkan
sebagai kaki orang.
Van
Heekeren mengklasifikasikan menjadi kapak corong, kapak upacara
dan kalak tembilang (tajak). Soejono membagi kapak perunggu menjadi
delapan yaitu :
1. Tipe I (tipe umum). Bentuknya lebar dengan
panjang yang lonjong, garis puncak (pangka), tangkainya cekung dan bagian tajam
cembung.
2.
Tipe II (tipe ekor burung seriti). Bentuk tangkai dengan ujung yang
membelah seperti ekor burung seriti, ujung tajam cembung, belahan pada ujung
ada yang dalam dan ada yang dangkal.
3. Tipe III (tipe pahat). Bentuk tangkai
menyempit dan lurus ada yang pendek dan lebar. Bentuk tajam cembung dan lurus,
kapak terbesar berukuran 12,2 x 5,8 x 1,7 cm dan terkecil 5,4 x 3,6 x 1,3 cm.
4.
Tipe IV (tipe tembilang). Bentuk tangkai pendek, mata kapak gepeng, bagian bahu
lurus kea rah sisinya. Ukuran terbesar 15,7 x 9,6 x 2 cm dan terkecil 13,4 x
6,5 cm.
5.
Tipe IV (tipe tembilang). Bentuk tangkai pendek, mata kapak gepeng, bagian bahu
lurus kea rah sisinya. Ukuran terbesar 15,7 x 9,6 x 2 cm dan terkecil 13,4 x
6,5 x 1,6 cm.
6.
Tipe V (tipe bulan sabit). Mata kapak berbentuk bulan sabit. Bagian tengah
lebar dan menyempit, tangkai lebar dan bagian tajamnya menyempit. Jenis
terbesar berukuran 16,5 x 15,6 x 3,4 cm dan terkecil 7,2 x 5,2 x 4,5 cm.
7.
Tipe VI (tipe jantung). Bentuk tangkai panjang dengan pangkal cekung, bagian
bahu melengkung. Ukuran terbesar 39,7 x 16,2 x 1,5 cm dan terkecil 13 x 7,2 x
0,6 cm.
8. Tipe VII (candrasa). Tangkai pendek dan
melebar pada pangkalnya, mata kapak tipis dengan kedua ujungnya lebar. Kapak
ini sangat besar dan pipih yang terbesar 133,7 cm dan terkecil 37 cm.
9.
Tipe VIII (tipe kapak roti). Keseluruhannya gepeng berukuran 90 cm. pangkal
tangkai cakram. Cakram ini dihiasi dengan pola roda atau pusaran (whirl).
Kapak
corong ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah dan Selatan,
Pulau Selayar dan di Papua dekat danau Sentani. Tidak semua kapak dipergunakan
sebagai kapak. Yang kecil umpamanya mungkin sebagai tugal, sedangkan yang indah
dan candrasa dipergunakan sebagai tanda kebesaran dan alat upacara saja. Di
Bandung ditemukan cetakan-cetakan dari tanah baker untuk menuangkan kapak
corong.
Jenis-jenis benda besi dapat digolongkan sebagai alat keperluan sehari-hari dan senjata. Benda-benda besi yang banyak ditemukan di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, berupa :
- Mata kapak atau sejenis beliung yang diikat secara melintang pada tangkai kayu
Hal-hal barupun telah ditemukan diantaranya pembuatan alat-alat dari biji besi. Sejalan dengan kemajuan yang dicapai, sehingga taraf penghidupannya dan tata-susunan orang Maybrat, Imian, Sawiat, menjadi makin kompleks. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, mulai hidup secara teratur, sehingga muncul golongan undagi (golongan orang-orang terampil).
Di zaman perundagian ini banyak kemajuan-kemajuaan dalam berbagai bidang kehidupan mereka seperti; kepercayaan, sosial, ekonomi dan sebagainya. Sehingga diketahui bahwa sejak masa ini sudah adanya jalur hubungan dengan daerah-daerah yang ada di Asia Tenggara melalui kesultanan ternate tidore. Hal ini di perkuat dengan ditemukannya kesamaan benda-benda yang ditemukan di Maybrat, Imian, Sawiat dengan benda yang berada si Asia Tenggara yang lain seperti Vietnam.
A.7. Arsitektur halit – mbol chalit dan budaya adat istiadat zaman prasejarah – zaman sejarah.
Selanjutnya kebudayaan bila ditinjau dari ilmu Antropologi, adalah
keseluruhan dari sistem gagasan, tindakan pola hidup manusia dan karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan sebagai pemilik dari manusia
dengan belajar. hampir keseluruhan tindakan manusia adalah kebudayaan.
Menurut ilmu Arsitektur, manusia yang memiliki budaya membangun adalah
manusia yang berbudaya mencipta, orang yang berjiwa seni, orang yang berjiwa
merancang, orang yang berjiwa perencana.
Hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
tidak perlu dibiasakan dengan belajar, antara lain yang berupa tindakan
naluriah, beberapa refleksi, beberapa tindakan akibat proses psikologi,
tindakan dalam kondisi tidak sadar, tindakan dalam membabi buta, bahkan berbagai
tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang dibawa oleh manusia dalam
genetik semenjak lahirnya juga telah dirombak olehnya menjadi tindakan
kebudayaan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat model – model pengetahuan yang secara efektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan – tindakannya. Dalam pengertian ini kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaan operasionalnya dalam hal ini adalah manusia mengadaptasi diri dengan menghadapi lingkungan – lingkungan tertentu (fisik, alam, sosial dan kebudayaan) untuk mereka dapat tetap melangsungkan kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan – kebutuhan dan untuk dapat hidup secara lebih baik lagi. Karena itu seringkali kebudayaan juga dinamakan sebagai “blueprint” atau desain menyeluruh dan kehidupan.
2. Wujud Arsitektur Tradisional
Maybrat,
Imian,
Sawiat,
dan Kebudayaan.
Pada hakekatnya Arsitektur Tradisional Maybrat Imian Sawiat merupakan
pencerminan kehidupan yang mana menggambarkan jati diri manusia Maybrat Imian
Sawiat yang ditampilkan dalam meramu rumah mereka, termasuk didalamnya antara
lain : kehidupannya, sosialnya, ekonomi – spiritual dan budayanya. Dengan
demikian Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan salah satu
artefak dari jejak perjalanan hidup Suku Maybrat Imian Sawiat. Arsitektur
Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat
merupakan suatu ciri (idea), konsep, kaidah, prinsip, yang merupakan
dasar pengolahan batin pikiran dan perasaan mereka dalam mencipta dan berkarya.
Pada dasarnya arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat sudah
mampu memenuhi tuntutan kebutuhan akan Arsitektur yaitu :
- Menjaga kelangsungan hidup dan kehidupan
Manusia.
- Mengembangkan kehidupan Manusia untuk lebih
bermakna
- Membuat kehidupan Penghuni lebih nyaman
Dapat dikatakan bahwa Suku Maybrat Imian Sawiat juga memiliki lima
jenjang kebutuhan terpenting dalam hidup mereka yaitu :
- Physiological needs atau survival needs,
adalah kebutuhan yang menduduki peringkat terbawah yang merupaka kebutuhan
dasar manusia. Jenjang kebutuhan ini berisi kebutuhan – kebutuhan orang
Maybrat, Imian, Sawiat, yang berkaitan dengan alam dan keberadaannya
sebagai manusia, yaitu kebutuhan akan makanan, kebutuhan akan tempat
tinggal, dan teks.
- Safety needs atau security
needs, adalah
jenjang kebutuhan yang kedua berisi kebutuhan – kebutuhan yang berkaitan
dengan keamanan, agar dirinya merasa aman dan terlindung dari setiap
gangguan.
- Social needs, atau belonginess
needs, adalah
jenjang kebutuhan yang ketiga yang berisi kebutuhan – kebutuhan orang
Maybrat, Imian, Sawiat, berkaitan dengan kedudukannya sebagai anggota
masyarakat, sebagai makhluk sosial yang akan berinteraksi – interelasi dan
berinapendensi dengan anggota masyarakat lainnya.
- Esteem needs atau ego needs, adalah jenjang kebutuhan yang keempat yang
berisikan kebutuhan – kebutuhan orang Maybrat, Imian, Sawiat, akan
penghargaan yang didasarkan pada keinginan untuk mendapat kekuasaan (power needs). Pada dasarnya ingin
dihargai dan keinginan inilah yang menghasilkan kebutuhan orang Maybrat,
Imian, Sawiat, akan penghargaan tersebut yang disebut dengan “Bobot”.
- Self actualization needs atau
self Fulfillment needs, jenjang
kebutuhan ini berisikan kebutuhan orang Maybrat, Imian, Sawiat, sehingga
menreka dapat mengembangkan bakat dan kemampuannya dengan sepenuhnya.
Kebutuhan ini merupakan ciri hakiki manusia umumnya.
Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat mempunyai peranan
penting dalam pemenuhan kebutuhan – kebutuhan mereka, oleh karena itu
arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat bukan hanya menyngkut masalah
fungsionalitas saja, bukan hanya diperuntukan sebagai wadah kegiatan mereka
belaka, dan tidak hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan fisiologik.
Perwujudan arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat tidak hanya
berlandaskan pada asas fungsionalitas atau kegunaan saja, walaupun asas ini
cukup dominan, akan tetapi tidak akan menjadi asas satu – satunya ataupun
penentuan didalam perwujudan hasil – hasil karya arsitektur.
Perwujudan Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat tidak hanya
menyangkut aspek – aspek fungional saja, melainkan menyangkut seluruh aspek
kebutuhan didalam kebutuhan Manusia Maybrat Imian Sawiat. Perwujudan arsitektur
yang mengandung nilai – nilai manusiawi.
Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan manifestasi
dari nilai –nilai budaya, yang mana ditentukan oleh lima masalah didalam
kehidupan mereka yaitu : hakekat hidup, hakekat karya, persepsi mereka tentang
waktu, pandangan mereka tentang alam dan hakekat mereka dengan sesamannya.
Kelima masalah dasar ini banyak berkaitan dengan lingkungan, baik
lingkungan alami maupun lingkungan fisik mereka yang mana terbangun dengan
lingkungan sosial. Dua masalah yang berkaitan dengan masalah lingkungan mereka
yaitu pandangan mereka tentang alam, dan hakekat mereka dengan sesamanya. Kedua
masalah ini akan menentukan orientasi nilai budaya mereka terhadap alam dan
sesama mereka, yang kemudian direfleksikan kedalam wujud arsitekturalnya.
Berkaitan dengan sikap dan orientasi Suku Maybrat Imian Sawiat terhadap
alamnya, mereka telah mengalami peradaban dalam kebudayaan mereka yaitu :
- Pancosmism, merupakan fase dimana Suku Maybrat Imian Sawiat
tunduk kepada Alam dan Merasa mereka adalah bagian dari alam. Hal ini
merupakan kecenderungan kehidupan mula – mula nenek moyang mereka yang
mana tidak mampu dalam mencipta segala sesuatu bagi mereka, termasuk membangun
suatu tempat tinggal (rumah) bagi mereka. Hal ini cenderung mendorong
nenek moyang mereka menjadi bersikap pasrah terhadap kondisi alam.
- Anthropocentries, merupakan fase dimana Suku Maybrat Imian Sawiat dengan kemampuannya
menguasai alam dan merasa berkuasa atas alam sekitar mereka. Eksploitasi
alam ini mendorong terjadinya kerusakan – kerusakan lingkungan alam
disekitar permukiman mereka.
- Holism, merupakan tahapan atau fase dimana Suku Maybrat
Imian Sawiat mampu menyelaraskan kehidupan dan aktifitasnya dengan alam
sekitar. Dalam mendaya gunakan lingkungan alamny, Suku Maybrat Imian
Sawiat juga mampu memperhatikan daya dukung akan alam sekitar mereka
sehingga kelangsungan aktifitas mereka tetap berlangsung.
Pandangan – pandangan Suku Maybrat Imian Sawiat terhadap situasi dan alamnya memiliki pengaruh yang sangat besar bagi wujud Arsitektural mereka. Ketergantungan Suku Maybrat Imian Sawiat terhadap situasi dan alam termanifestasi kedalam wujud arsitekturnya yang sangat tergantung pada karakter – karakter alam dan situasi lingkungan sekitar. Hasil karya Arsitektur Tradisional mereka cenderung mengandung makna ketakutan mereka akan alam dan kehidupan mereka dan terhadap alamnya yang berkaitan dengan masalah – masalah mistis ataupun kekuatan – kekuatan ghaib dan kekuatan musuh yang berada diluar diri mereka. Keinginan mereka untuk menguasai alam membuat mereka cenderung berupaya untuk mengeksploitasi alam sekitar. Hasil – hasil karya Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat menjadi sangat jauh dari lingkungannya lepas dari lingkungan alamiahnya. Keselarasan dengan alam, Suku Maybrat Imian Sawiat cenderung mencari pertautan dengan lingkungan mereka. Kekuatan – kekuatan lingkungan dan alam sekitar tidak lagi dikaitkan dengan kekuatan Theologi moderen atau yang dikenal pada wilayah mereka adalah theology kristiani. Alam merupakan faktor – faktor yang dipertimbangkan bagi usaha – usaha mereka.
3. Aspek Sosial Budaya Suku Maybrat, Imian, Sawiat, Wilayah
Pesisir dan
Pegunungan.
Suku Maybrat Imian Sawiat melengkapi diri mereka dengan kebudayaan, yaitu
perangkat pengendali berupa rencana,
aturan, resep dan instruksi yang digunakan oleh mereka untuk mengatur
terwujudnya tingkah laku dan tindakan tertentu. Dalam pengertian ini, kebudayaan mereka berfungsi sebagai “alat”
yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi lingkungan. Kebudayaan Suku Maybrat Imian Sawiat yang cenderung adalah bukanlah sesuatu yang
dibawah bersama semenjak kelahiran, melainkan diperoleh melalui sosial
kehidupan sehari – hari mereka.
Dasar-dasar
stratifikasi dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat.
Ukuran atau kriteria yang kami pakai untuk menggolongkan
anggota-anggota masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, kedalam lapisan-lapisan
stratifikasi adalah:
a.
Ukuran kekayaan (Ekonomi)
Di tengah masyarakat Maybrat,
Imian, Sawiat, barang siapa yang memiliki kekayaan (ekonomi) paling banyak,
akan masuk pada stratifikasi atau lapisan atas (bobot)
b.
Ukuran kekuasaan
Ditengah masyarakat Maybrat,
Imian, Sawiat, barang siapa yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar,
maka dia akan menempati posisi yang atas (terhormat) didalam masyarakat.
c.
Ukuran kehormatan atau kewibawaan, dan kepandaian.
Ukuran kehormatan, kewibawaan dan
kepandaian ini mungkin sekali dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan maupun
ukuran kekuasaan. Disini orang yang paling disegani atau dihormati karena
berwibawa, dan pandai maka dia akan mendapat tempat yang teratas dalam masyarakat. Ukuran semacam
ini ditemui pada masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, yang tradisional.
d.
Ukuran ilmu pengetahuan.
Ukuran ilmu pengetahuan didalam
masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, dipakai karena kecenderungan mobilitas
pengubah stratifikasi mereka saat ini juga ditentukan oleh ilmu pengetahuan,
baik ilmu pengetahuan yang tradisional (inisiasi wiyon-wofle) dan pendidikan
moderen (pendidikan sekolah).
1)
Unsur-unsur stratifikasi di dalam masyarakat Maybrat,
Imian, Sawiat.
Hal-hal yang menjadi unsur-unsur stratifikasi dalam
masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, adalah: kedudukan (status) dan peranan (role).
1.
Status
Status atau kedudukan bagi masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, merujuk pada tempat seseorang dalam pola tertentu. Dengan demikian bahwa seorang bobot atau raja dapat menduduki beberapa kedudukan sekaligus, dikarenakan seorang bobot atau raja biasanya ikut serta dalam berbagai pola kehidupan. Pada umumnya masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, mengembangkan tiga macam status, yaitu; Big Man status (bobot), Ascribe Man status (Raja) dan Achieved status. Big man status adalah kedudukan dalam masyarakat yang diperoleh karena; keturunan, kewibawaan, dan kepandaian, yang mana suatu waktu bisa hilang ketika tidak bisa dipertahankan. Sebaliknya status big man juga bisa diperoleh oleh individu yang bukan berasal dari keturunan orang tua yang memiliki status big man, karena atas usaha dan kerja kerasnya dengan didukung oleh kemampuan dan kewibawaannya. Sedangkan acribe man status adalah kedudukan dalam masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, yang diperoleh melalui keturunan (raja). Sedangkan Achieved status adalah kedudukan seseorang yang diperoleh dengan usaha-usaha yang dilakukannya. Melalui achieved status inilah status bigman (bobot) dapat tercapai. Ketiga status tersebut masih begitu menonjol dan memiliki peranan penting, serta masih digunakan oleh masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, walaupun terlihat dengan jelas adanya perbedaan antara ketiga status ini dalam pola stratifikasi di dalam masyarakat mereka. Terlihat bahwa masing-masing penganut ketiga status ini selalu mengembangkannya sendiri-sendiri pada status yang ada, sesuai dengan kedudukan yang dikenal dengan assingned status, yang merupakan kedudukan yang diberikan. Dalam ketiga status ini, yang merupakan status yang tidak terubahkan adalah ascribe man status (status raja).
2.
Peranan (role)
Peranan pada masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, memiliki
makna sebagai aspek dinamis dari status atau kedudukan. Apabila seseorang
melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka
dia selalu menjalankan suatu peranan yang tujuannya untuk memperoleh prestise.
Suatu peranan ini terdiri atas tiga hal, yaitu;
a.
Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan
posisi atau tempat seorang bobot atau
raja di dalam masyarakat.
b.
Peranan adalah suatu konsep tentang perihal apa yang
dapat dengan mampu dilakukan oleh seorang bobot
atau raja ditengah masyarakat.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perikelakuan seorang bobot atau raja yang sangat penting bagi struktur sosial guna mempertahankan prestisenya.
A.
PEMBAHASAN
B.1.
Analisa Fungsi Dan Konsep Rumah Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat Dengan
Pertimbangan Iklim Sebagai Faktor Yang Mempengaruhi Kenyamanan Thermal
a. Analisa
Bentuk Yang Mempengaruhi Kenyamanan Thermal Rumah Halit-Mbol Chalit
Pada bagian ini, akan dicoba untuk menganalisis bentuk arsitektur rumah
halit-mbol chalit yang tercipta dari hasil Appabolang untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap kenyamanan thermal yang terjadi.
1. Lokasi
Penetapan lokasi bangunan adalah salah satu unsur yang perlu mendapat
perhatian. Lokasi bangunan adalah salah satu faktor yang turut berperan dalam
pencapaian kenyamanan thermal bangunan. Misalnya lokasi didataran rendah
khususnya di daerah pantai kelembaban cukup mendatangkan masalah, disamping
dampak-dampak negatif yang disebabkan tingginya kadar garam.
Untuk khusus rumah
tinggal suku Maybrat, lokasi bangunan
cenderung mengikuti lereng gunung dan garis jalan, sedangkan suk Imian, Sawiat, lokasi bangunan cenderung
mengikuti garis pantai dan terpencar ke laut, sebagai konsekwensi dari mata
pencaharian mereka sebagai nelayan. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar
fisual berikut:
Suku Maybrat, Imian, Sawiat, mengenal pola peletakan
hunian dalam tiga kelompok. Di darat, kelompok hunian diperalihan darat dan
perairan laut, di kelompok hunian diperairan laut. Dari lokasi perletakan hunian
suku Maybrat, Imian, Sawiat, diatas, maka dapat dikatakan bahwa rumah dengan
garis gelombang merupakan rumah yang berada di atas perairan air laut, sangat dipengaruhi oleh
pasang surut air laut dan angin kencang. Air laut merupakan penyumbang besar
terhadap kelembaban yang terjadi. Disamping itu, angin yang bertiup dari arah
laut membawa kadar garam yang sangat tinggi, sehingga bahan-bahan dari logam
mudah berkarat/korosi. Begitu pula dengan rumah dengan garis datar yang
menunjukkan bahwa perletakannya berada di peralihan daratan dan perairan air
laut, juga masih dipengaruhi oleh pasang-surut air laut dan angin kencang.
Kelembaban dan korosi/kerusakan bahan logam akibat tingginya kadar garam
merupakan konsekwensi yang harus diperhatikan untuk mendirikan bangunan diatas
perairan air laut maupun di peralihan antara daratan dan perairan laut.
Sedangkan untuk rumah yang perletakannya di wilayah daratan seperti
Maybrat terhindar dari pengaruh pasang surut air laut.
Namun kondisi kelembaban masih tinggi sekitar 61% - 95%, begitu pula dengan kadar garam yang mendatangkan
korosi, masih perlu diperhatikan jika lokasinya masih berada di wilayah pesisir
pantai dan masih dijangkaui oleh angin laut. Sedangkan yang berada di wilayah
pegunungan dan jauh dari air laut dan angin laut telah diubahkan. Korosi akibat
kadar garam di abaikan.
1. Orientasi
Orientasi bangunan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan
untuk menciptakan kenyamanan thermal dalam bangunan. Pengaruh sinar matahari
dan angin merupakan dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan
orientasi bangunan yang akan direncanakan. Namun untuk kasus rumah tinggal suku
Maybrat, Imian, Sawiat, orientasi bangun huniannya tidak merupakan pengejawantahan dari hal-hal
yang cenderung bersifat mistis. Namun secara etika sosial yang terjadi, bagi
suku bangsa Maybrat, Imian, Sawiat, mengatakan bahwa secara terhormat bangunan
harus menghadap ke jalan. Dilarang atau tidak terhormat membelakangi jalan
karena dianggap sombong dan kurang ajar. Untuk itu, jalan yang berfungsi
sebagai sarana penghubung (kontak sosial) secara tidak langsung juga
berpengaruh terhadap orientasi bangunan. Begitu pula dengan bangunan yang
berhubungan langsung dengan air laut, memiliki larangan mistis, bahwa bangunan
harus menghadap ke laut, karena laut dipercaya sebagai tempat yang memberi
penyelamatan. Sebagaimana kepercayaan mereka bahwa daratan keras/jahat, dan
laut lembut/baik.
Dari uraian diatas bahwa ternyata unsur iklim tidak menjadi pertimbangan dalam penentuan orientasi arah angin dan posisi lintasan matahari bukan merupakan hal yang penting. Jadi rumah-rumah yang sisi panjang bangunannya tegak lurus dengan arah angin, dan sisi pendek ditempatkan pada arah timur dan barat yang diketahui sebagai sisi yang secara tidak disadari turut mewujudkan kenyamanan thermal yang diperlukan.
1. Bentuk
dan Denah
Suku Maybrat, Imian, Sawiat, mempunyai ukuran-ukuran
tersendiri dalam menentukan bentuk bangunan. Ukuran-ukuran yang digunakan dalam
menempatkan tinggi, lebar, panjang, sebagai dasar
ukuran jengkalan jari disesuaikan dengan panjang kayu yang digunakan untuk
memperoleh ukuran yang serasi, yaitu berupa depan, hasta, siku dan jengkal.
Depan adalah panjang ujung tangan kiri ke ujung tangan kanan jika direntangkan.
Hasta adalah panjang dari unutng tangan ke ujung pangkal bahu atau sebaliknya.
Siku adalah panjang dari ujung tangan ke siku. Jengkal adalah panjang dari
ujung jari ke ujung tengah ujung ibu jari jika tangan dilebarkan. Ukuran-ukuran tiap rumah halit-mbol chalit adalah
sebagai berikut:
a.
Jumlah tiang ke arah memanjang
6 buah, ke arah lebar 4 buah pada bagian teras dan badan rumah. Jarak antara
tiang-tiang menurut pengukuran 2,6 m ke arah memanjang dan 2 m ke arah melebar.
Sulit menentukan berapa ukuran depan, hasta, siku atau jengkalnya secara pasti
setiap orang mempunyai ukuran yang berbeda-beda sesuai jengkalan jari
tangannya, lagipula tukan yang membangunnya sudah tidak ada lagi. Untuk ukuran
arah vertikal, tinggi kaki 5-6 m untuk tupuan kolom pada tanah, sedangkan 9-10
m untuk tumpuan di atas pohon, tinggi badan rumah berfariasi dari 1,70 m, 3,50
m, 2 m, tinggi kepala 1,90 m.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bentuk
denah yang tercipta dari hasil ukuran-ukuran tersebut adalah suatu bentuk denah
yang pipih, sehingga memungkinkan untuk diterapkan sistem cross ventilation dan pemanfaatan cahaya matahari kedalam bangunan.
Bentuk seperti ini sangat cocok diterapkan pada daerah tropis lembab, khususnya
di wilayah pesisir pantai sekitar teminabuan, inanwatan, werisar dan sekitar
perkampungan dipesisir pantai lainnya yang kondisi kelembabannya sangat tinggi,
seperti di perairan pantai sekitar Sorong Selatan.
Bentuk rumah bagi suku Maybrat, Imian, Sawiat,
harus memiliki tiga syarat, baik bentuk ke arah vertikal maupun bentuk ke arah
horizontal sesuai dengan aturan budaya appabolang. Arah vertikal ditandai
dengan hafot/sur (kaki), kriras (badan), dan timanaf (kepala). Arah horizontal
ditandai dengan isit (teras), samu tkah (badan rumah), dan ohat (tungku
api/dapur). Syarat ini masing-masing mempunyai arti dan fungsi tersendiri,
yaitu hafot/sur (kaki) merupakan bagian kotor yang dikelilingi oleh
makhluk-makhluk jahat sehingga harus di tinggikan. Hal ini tentunya bermanfaat
untuk mengatasi kelembaban yang terjadi dibawah kolong rumah dan juga
bermanfaat untuk mengantisipasi luapan pasang surut air laut. Sumanaf (kepala)
yang dilambangkan sebagai yang maha tinggi, suci, serta dipercaya sebagai
tempat makhluk halus. Tentunya keadaan seperti ini sangat baik untuk mengusir
panas yang ada didalam ruang. Samu tkah tkah (badan rumah) yang posisinya
ditengah diapit oleh isit (teras), dari arah horizontal, hafot/sur (kaki) dan
timanaf (atap) dari arah vertikal. Hal ini tentunya baik untuk melindungi ruang
aktivitas keluarga dari sinar matahari langsung, hujan, dan pasang surut air
laut. Disamping inti pengetahuan tentang kisaran pasang surut tercermin dari
ketinggian lantai dengan menentukan sekisar 1,5 – 2 m. Lantai yang ditinggikan
dapat memberikan jalan untuk pergerakan udara bahwa lantai hal ini merupakan
solusi yang baik untuk mengatasi kelembaban. Bentuk rumah halit-mbol chalit dan
kaitannya dengan kenyamanan thermal, dapat diuraikan sebagai berikut:
Rumah halit-mbol chalit merupakan rumah yang berbentuk panggung yang memiliki kaki, badan dan kepala sebagai konsekwensi dari aturan budaya Appabolong. Tinggi kaki/kolong berukuran tinggi sekitar 1,70 m keatas dari permukaan tanah. Kondisi ini memungkinkan untuk mengatasi kelembaban yang terjadi dibawah lantai. Untuk lebih jelasnya dapt dilihat pada gambar berikut:
1. Bukaan-Bukaan
(sistem Penghawaan)
Bukaan-bukaan sangat penting peranannya untuk
mendapat penghawaan dalam bangunan. Sistem penghawaan perlu diperhatikan untuk
menciptakan kenyamanan dalam bangunan, terutama pada bangunan rumah tinggal
yang menggunakan sistem pendinginan pasif.
Sistem penghawaan untuk pendingin positif perlu
diperhatikan: orientasi jendela, dimensi jendela, disain sistem daun jendela,
dan waktu pembukaan jendela. Untuk kasus penghawaan rumah tinggal suku Maybrat,
Imian, Sawiat, dapat dilihat contoh rumah halit-mbol chalit berikut:
a. Sistem penghawaan pada rumah halit-mbol chalit yang
berada di sisi timur dan barat, terdiri dari jendela, bukaan keluar yang
terbuat dari krepyak kayu dan kaca bening, ventilasi dan kisi-kisi kayu, bukaan
pintu dan kisi-kisi kayu pada batasan atas kearah atap dan kebawah. Ini tidak
searah dengan jalur angin, padahal arah angin dari utara. Jadi posisi bukaan
sejajar arah angin. Hal ini tentunya kurang menguntungkan apabila tidak
ditangani dengan sempurna. Pengontrolan dan pembelokan arah angin ke bangunan
sangat diperlukan supaya ventilasi silang atap tetap terjadi. Yang
menguntungkan pada rumah ini adalah ventilasi atap, yaitu kisi-kisi sisa kayu
diantara dinding dan atap yang tidak ditutup dan bukaan sekitar 50,20% dari
luas dinding pada sisi utara atau tegak lurus arah datangnya angin. Namun
kondisi ini belum mampu menghapus panas untuk menurunkan temperatur dalam,
khususnya sekitar jam 10.00 siang sampai jam 16.00 sore, sehingga kondisi dalam
ruang masih berada dalam kondisi hangat yaitu sekitar 28°C – 30,2°C.
b. Sistem penghawaan pada rumah yang berdiri pada sisi utara dan selatan terdiri dari
jendela, ventilasi dari kisi-kisi kayu. Orientasi bukaan terbesar berada disisi
utara dan selatan. Hal ini tentunya sangat menguntungkan karena arah angin terbesar pada daerah ini
adalah dari utara, jadi memungkinkan adanya ventilasi silang. Disamping itu, didukung
dengan bukaan sekitar 40,80% dari luas dinding. Namun kondisinya seperti halnya
dengan rumah yang posisi timur dan barat, belum mampu menghapus panas
untuk menurunkan temperatur dalam
kasusnya sekitar jam 10.00 siang sampai jam 16.00 sore. Sehingga kondisi dalam
ruang masih berada dalam kondisi hangat, yaitu sekitar 28°C – 29,5°C.
2. Atap
dan Dinding
Atap dan dinding adalah unsur yang harus
diperhatikan untuk melindungi bangunan dari alam luar. Atap merupakan elemen yang paling banyak
menerima radiasi matahari secara langsung. Untuk itu perlu adanya usaha
penyekatan untuk mengurangi pengaruh matahari terhadap ruang bawanya. Atap
bangunan selain berfungsi sebagai pelindung terhadap kebasahan/kelembaban dan
hempasan.
Untuk kasus rumah tinggal suku Maybrat, Imian,
Sawiat, atap selain berfungsi untuk melindungi bangunan dan panas matahari dan
kebasahan hujan, atap juga berpengaruh terhadap kebiasaan mereka, terutama bagi
yang berada disekitar laut selalu memanfaatkan atap untuk menampung air hujan
untuk keperluan minum sehari-hari. Untuk itu kemiringan atap pada rumah tinggal
suku Maybrat, Imian, Sawiat, rata-rata 30° - 45°. Kemiringan ini tentu saja
dapat merupakan solusi yang baik untuk mempercepat turunnya air hujan dari
atap, sehingga dapat mengurangi kebocoran dan pembusukan pada bahan atap,
disamping dapat mengurangi kelembaban yang datang dari atap. Kemiringan atap
juga berpengaruh terhadap besarnya panas yang diterima. Sebagaimana yang
dikatakan Zokolay (1981) bahwa atap dasar lebih besar 50% menerima panas
matahari daripada atap miring.
Disamping atap bangunan, dinding juga perlu
mendapat perhatian untuk menciptakan kondisi nyaman dalam bangunan. Dinding
yang baik harus senantiasa menjadi pelindung terhadap radiasi matahari,
pelindung terhadap hempasan hujan dan kelembaban dan pelindung terhadap arus
angin luar, serta harus senantiasa memelihara suhu yang diminta di dalam ruang.
Untuk mengurangi besarnya pengaruh radiasi pada
bangunan maka dinding harus dibayangi dan dihindari dari sinar matahari dan
dihindari dari sinar matahari langsung. Disamping itu, bahan dinding sebaiknya
mempunyai time lag yang besar namun
kerapatan dinding harus diatur agar tetap memiliki bagian-bagian yang berlubang
sebagai ventilasi alami.
Untuk khusus rumah tinggal suku Maybrat, Imian,
Sawiat, bahan dinding terdiri atas beberapa bahan utama, yaitu Kulit kayu,
Papan kayu, gaba-gaba/pelepah sago, dedaunan. Namun yang masih digunakan hingga
sekarang adalah papan kayu yang mempunyai time
lag yang kecil, sehingga panas yang ada langsung diterima dan dipancarkan.
Temperatur ruang luar dan ruang dalam tidak
mempunyai perbedaan yang signifikan. Untuk itu, dinding dan bukaan-bukaan baru
senantiasa dilindungi dari sinar matahari.
3. Overstek
Overstek atau pelindung seperti yang diuraikan
didepan sangat besar peranannya untuk menciptakan kenyamanan dalam bangunan.
Overstek-overstek yang lebar dan sudut jatur atap yang begitu memanjang hingga
badan bangunan sangat dibutuhkan untuk menghambat sinar matahari yang masuk
kedalam ruang secara langsung, memberi bayangan peneduh dan melindungi hujan.
Untuk kasus rumah tingga Maybrat, Imian, Sawiat,
overstek atau pelindung sangat dibutuhkan seperti sisi bangunan. Hal ini
tentunya untuk melindungai dinding terutama dari sinar matahari langsung,
mengingat bahan dinding yang digunakan dari papan dan kayu dengan time lag yang
kecil. Namun kenyataan penggunaan overstek/pelindung pada rumah halit-mbol
chalit yang diteliti hanya bagian depan dan belakang yang mendapat perlindungan
overstek, sedangkan bagian sisi kiri dan kanan tidak, atau hanya menggunakan
panjangnya ukuran jatuh atap yang hingga menutup paruh dinding bagian atas.
Ukurannya sekitar 80-100 cm.
4. Material
dan Warna
Material dan warna yang digunakan pada bangunan juga perlu mendapat
perhatian, karena kedua unsur ini sangat berpengaruh terhadap penambahan panas
di dalam bangunan. Color can influence of
heat absorbed by the building surface that affect internal temperature.
Jika pendinginan fakor utama pada perencanaan bangunan, maka kombinasi bidang
dengan warna-warna muda dan dinding yang mampu melawan panas perlu
diperhatikan.
Untuk kasus rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, penggunaan
material dan warna pada atap, dinding dan lantanya dapat diuraikan sebagai
berikut:
a.
Atap
Roof design id the result of
geographical condition, climate is the reason for the “slope”, while the local
soil conditions explain the choise of certain “materials”. Pengertian ini sangat relevan bila melihat kondisi
tanah yang sangat lemah daya dukungnya, berupa tanah lempung dan tanah lumpur
sehingga pemilihan material atap bangunan sangat dipengaruhi oleh daya dukung
tanah. Penggunaan material atap dipermukiman kampung Maybrat, Imian, Sawiat,
hanya dijumpai dua jenis, yaitu atap daun dan atap seng. Penggunaan atap daun
bagi suku Maybrat, Imian, Sawiat, didasarkan pada faktor ekonomi dalam ukuran
sekarang ini, namun merupakan bahan utama pada zaman lampau (prasejarah). Namun
perlu diketahui bahwa penggunaan atap daun sangat baik untuk meredam pengaruh
radiasi matahari karena tidak menyerap panas, pengudaraan baik, dan warnanyapun
merupakan warna alami. Atap daun ini dapat merefleksi panas antara 20% -23%.
Kekurangan/kendala penggunaan atap daun yaitu, atap ini berongga sehingga mudah
mengundang cendawan, lumut, serangga, dan hama lain yang tidak menyedapkan, bahkan
sering berbahaya. Atap ini juga mudah untuk terbakar. Namun untuk pencegahan
terhadap hama dan lain-lain dapat diatasi dengan pengawetan atau difusi dengan
cara mengawetkannya dibawah sinar matahari selama 1-2 bulan tergantung kekuatan
bahan yang diawetkan, yang mana jika terlihat pada bentuknya jika sudah awet
baru difungsikan. Namun untuk penduduk yang berada di pesisir air laut,
biasanya mengawetkan dengan menggunakan air garam, dan sinar matahari, hal ini
tentunya menguntungkan untuk penggunaan atap daun. Tapi disisi lain penggunaan
atap seng tentu saja air garam menjadi musuh dan sangat bertolak belakang,
karena dapat menyebabkan korosi sehingga mudah bocor. Penggunaan atap seng bagi
suku Maybrat, Imian, Sawiat, disamping karena pertimbangan konstruksi yang
ringan juga terhadap kebiasaan menampung air hujan, terutama mereka yang berada
di air laut. Air hujan dari cucuran atap seng lebih jernih dan lebih bersih
dibanding atap daun. Atap seng dapat merefleksi panas 90% - 70% akibat radiasi
matahari. Pada rumah tingga suku Maybrat, Imian, Sawiat, atap seng rata-rata
tidak diberi warna. Warna ini dapat merefleksi panas sekitar 40% - 35% walaupun
demikian penggunaan material ini cepat menjadi panas, sehingga berpengaruh pada
kondisi comfort di dalam ruangan. Untuk itu, guna dapat mengantisipasinya
dengan pasangan plafond dan bukaan jendela yang cukup. Disamping itu, diisi
bawah atap seng mudah menjadi kondensasi khususnya dipagi hari. Untuk itu,
konstruksi kayu yang berada dibawahnya harus terlindungi benar dari kelembaban.
Hal ini dapat diatasi dengan pemberian cat atau ter dan harus bisa bernafas, artinya hawa udara senantiasa mengalir
berputar dibawahnya. Pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, dapat
dikatakan telah merespon terhadap kondisi ini, dapat dilihat pada pemasangan
kisi-kisi kayu yang memungkinkan terjadinya pengalihan udara.
b.
Dinding
Material dinding yang digunakan pada rumah tinggal
suku Maybrat, Imian, Sawiat, umumnya dari Papan Kayu, dan ada yang diberi
cat/warna, ada yang memanfaatkan warna alami kayu, sehingga permukiman kampung
nampak ramai dengan warna-warni. Pemilihan material kayu untuk bahan dinding
didasarkan pada pengetahuan warga tentang lingkungan alamnya, yaitu mereka
cenderung memilih kayu yang permukaannya kasar dengan jenis-jenis kayu tertentu
yang sudah dikenal semenjak temurun yang digolongkan sebagai kayu yang kuat.
Dari rumah yang diteliti, hampir keseluruhan rumah hunian suku Maybrat, Imian,
Sawiat, hampir menggunakan jenis kayu yang sama, yaitu kayu besi (ataf), Matoa,
dan kayu ulin yang dianggap berkualitas baik. Materi kayu mempunyai kemampuan
pemantulan sekitar 60% - 40% tahan terhadap angin, hujan dan mempunyai
kemampuan pengisolasian panas sedang, serta tingkat penyerapan sekitar 40% -
60% apabila dengan perawatan yang baik dan konstruksi yang tepat.
Penggunaan
warna bagi suku Maybrat, Imian, Sawiat, didasarkan pada pengetahuan tentang
tingginya kelembaban dilingkungan dengan mengikuti pola yang dilakukan oleh
orang Hindia Belanda terdahulu dan juga tentunya untuk memberi nilai estetika.
Menurut pengalaman mereka bahwa dengan memberi warna atau cat pada dinding,
lebih dapat bertahan terhadap basah/lembab daripada tidak sama sekali.
Pemakaian cat pada dinding tiap rumah halit-mbol chalit, semuanya memakai warna
yang memiliki daya serap sekitar 20% - 60% atau daya daya pantul 80% - 35%. Hal
ini tentunya dapat membantu untuk mengurangi perolehan panas dalam bangunan.
c.
Lantai
Penggunaan material lantai sama dengan dinding,
yaitu yang memilih material kayu yang permukaannya licin. Terhadap pertimbangan
pengaruh iklim, pemakaian lantai kayu sangat mereduksi panas, lagi pula lantai
kayu hangat untuk malam hari yang begitu dingin. Sedangkan kelembaban yang
timbul akibat penguapan air dikolong lantai disiasati dengan konstruksi
penggung tampa penutup kolong, sehingga dapat mengalir dengan baik.
5. Pola
Penataan Hunian
Pola penataan Hunian permukiman ini bileh
dikatakan masih serawut dan tidak teratur. Hanya barisan depan menghadap jalan
yang berbaris rapi, sedangkan hunian lainnya bersebaran ke arah laut dan hutan
tanpa keteraturan. Pola penataan hunian dikampung agaknya menyimpang dari teori
bahwa untuk daerah panas lembab, pola penataan bangunan yang teratur dalam
bentuk grid dan dengan pola jalan yang saling memotong tegak lurus dengan
bangunan sebagai pebatas tepi akan sangat sesuai, dengan pola yang dimanfaatkan
untuk ventilasi dalam bangunan dan diharapkan menjadi lancar (Gideon S Golony,
1995).
b.
Faktor
– faktor iklim tropis yang mempengaruhi
kenyamanan thermal dalam ruang.
Penelitian mengenai kenyamanan thermal baik dari Szokolay (1980), Egan (1975), maupun dari Santoso (1986), tidak disepakati suatu besaran kenyamanan yang sama. Kenyamanan thermal tidak dapat diartikan sebagai suatu besaran tetap, tetapi merupakan ambang batas relativ yang menunjukkan bahwa kondisi iklim tertentu, lingkungan sekitar, jenis kelamin, kelompok usia, aktifitas dan lain sebagainya. Hal ini diperjelas dengan memperhatikan faktor – faktor yang mendukung kenyamanan thermal adalah sebagaimana pada tabel berikut :
Kehilangan panas pada manusia disebabkan oleh konveksi kondisi, evaporasi dan radiasi. Konveksi sekitar 40%, evaporasi 20%, radiasi matahari sekitar 40% dan konduksi biasanya memberi kontribusi sangat kecil. Jumlah kehilangan panas ini akan menentukan respon seseorang terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga ia akan mampu merasakan kenyamanan thermal yang mana didukung oleh : temperatur udara, radiasi penggerakan udara, dan kelembaban relatif. Kombinasi dan faktor – faktor ini akan menghasilkan suatu nilai kenyamanan thermal tertentu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut:
Elemen –
Elemen iklim yang mempengaruhi kenyamanan thermal adalah :
a. Radiasi (radiation)
Kenyamanan radiasi (thermal comfort) merupakan
hal penting dalam menciptakan suatu kenyamanan dalam ruang. Walau hal ini
tergantung pada Radiasi matahari (sun
rise).
b. Temperatur udara (air temperature)
kenyamanan temperatur (thermal comfortable) juga merupakan suatu hal penting dalam
menciptakan suatu kenyamanan di dalam ruang, walau hal ini tergantung dari
perasaan pada bagian subjektiv (subjective
veeling state) dan perasaan kenyamanan (convortable veeling)
namun ini harus tetap diusahakan agar dapat tercipta, karena walaupun bagaimana manusia
mempunyai kemampuan adaptasi yang terbatas, dan bila hal ini terlampaui maka
bisa mengakibatkan gangguan. Penyelesaian dari masalah ini adalah berkaitan
sangat erat dengan faktor – faktor kenyamanan lainnya sehingga tidak dapat
dipisahkan.
Sesungguhnya sangat sukar sekali dalam menentukan ukuran – ukuran kenikmatan secara tepat oleh karena kombinasi dan pergerakan udara dengan kecepatan 4,57m -7,63m /menit, suhu udara 20,4°C dan kelembaban 20% - 70%, dan kecepatan pergerakan udara sama seperti disebutkan di atas. Kombinasi temperature udara, kelembaban, dan kecepatan angin yang membentuk temperature nyaman pada saat tersebut di katakan sebagai temperatur efektif. Lihat tabel beikut:
a. Kelembaban dan Curah Hujan (evaporate and rain)
Kelembaban udara dapat mengalami fluktuasi yang
tinggi, sangat tergantung terutama pada perubahan temperatur udara. Semakin
tinggi temperatur, semakin tinggi pula kemampuan udara menyerap air. Kelembaban
relativ menunjukkan perbandingan antara tekanan uap air yang ada terhadap
tekanan uap air maksimum yang mungkin dalam kondisi temperatur udara tertentu
yang di nyatakan dalam porsen. Udara yang telah jenuh tidak dapat menyerap air
lagi karena tekanan air maksimum telah tercapai. Sedangkan kelembaban absolut
adalah kadar air dari udara yang dinyatakan dalam garam perkilogram udara
kering, dengan cara mengukur tekanan yang ada pada udara dalam kilo pascal
(Kpa) atau disebut juga tekanan uap air.
Kelembaban udara yang nikmat untuk tubuh berkisar 40
– 70%. Padahal tempat – tempat seperti ditepi pantai, berkisar 80%-98%. Untuk
itu diperlukan pengembangan lain demi rasa comfort tubuh. Dengan kata lain
proses penguapan harus dipercepat. Jika kelembaban udara sudah jenuh, maka
tubuh kita tidak bisa menguapkan keringat lagi. Khusus yang tinggal di daerah
pantai harus diingat bahwa angin laut selain membawa kelembaban, jug membawa
kadar garam yang tinggi, yang menyusup dan merusak bahan – bahan logam di mana
– mana.
Pengaturan kelembaban dalam ruang juga sangat
penting karena kelembaban ruangan yang tinggi dapat menyebabkan penggemburan
permukaan kaca pada musim dingin dan kelembaban rendah dapat mengakibatkan
masalah listrik statis. Di daerah iklim tropis yang bercurah hujan tinggi,
faktor kelembaban harus mendapat perhatian. Kelembaban dapat membawa bahaya dan
kerugian – kerugian. Mengakibatkan dinding – dinding menjadi basah yang mana
bisa mengurangi daya isolasi kalor, sedangkan penguapan kebasahan dinding juga
membuat ruang menjadi dingin, menambah kadar uap air didalamnya. Itu semua
mendorong uap air dalam ruangan untuk berkondensasi. Kelembaban yang tidak
ditiup pergi oleh angin dapat menjadi penyebab ketidaknyamanan di dalam ruang.
Pada kenyataannya orang dipantai tidak terlalu merasa kesal terhadap suhu. Yang paling dirasakan sebagai penyebab ketidak enakan bukan pertama suhu udara, melainkan kelembaban. Selain itu kelembaban dapat menimbulkan pembusukan pada kayu, pengkaratan logam – logam.
a. Penggerakan Udara (air wave)
Penggerakan udara terjadi disebabkan oleh pemanasan
lapisan – lapisan yang berbeda – beda. Angin yang diinginkan, angin lokal,
sepoi – sepoi yang memperbaiki iklim makro, angin yang memiliki gerakan kuat
tidak diharapkan sehingga pemecahan harus diberikan. Gerakan udara didekat
permukaan tanah dapat bersifat sangat berbahaya dengan gerakan di tempat yang
tinggi. Semakin kasar permukaan yang dilalui, semakin tebal lapisan udara.
Arah angin sangat menentukan orientasi bangunan. Di daerah lembab
diperlukan sirkulasi udara yang terus – menerus. Di daerah tropika basah,
dainding – dinding luas sebuah bangunan terbuka untuk sirkulasi udara lebih
besar daripada yang dibutuhkan untuk pencahayaan. Sedangkan perbandingan untuk
kecepatan angin, dan akibat serta pengaruh yang ditimbulkan pada manusia di
lingkungannya. Lihat tabl :
Untuk bangunan di daratan yang berdataran tinggi,
harus memperhatikan sifat angin yang kadang – kadang kencang dan hal ini perlu
dihindari. Jadi kecuali mempelajari cepat dan lembabnya gerakan angin di suatu
daerah, dan sangat perlu juga diketahui arah angin setempat.
Untuk daerah panas lembab, pola penataan bangunan
teratur dalam bentuk grid dengan pola jalan yang saling memotong tegak lurus,
namun di wilayah Maybrat Imian Sawiat menggunakan pola linear, yang mana
penataan bangunan mengikuti alor gunung, sungai dan pantai.
e. Mendefinisikan Kembali
Arsitektur Tropis Maybrat Imian Sawiat Papua
Salah
satu alasan mengapa manusia membuat bangunan adalah karena kondisi alam iklim
tempat manusia berada tidak selalu baik menunjang aktivitas yang dilakukannya. Aktivitas
manusia yang bervariasi memerlukan kondisi iklim sekitar tertentu yang
bervariasi pula. Untuk melangsungkan aktivitas kantor, misalnya, diperlukan
ruang dengan kondisi visual yang baik dengan intensitas cahaya yang cukup;
kondisi termis yang mendukung dengan suhu udara pada rentang-nyaman tertentu;
dan kondisi audial dengan intensitas gangguan bunyi rendah yang tidak
mengganggu pengguna bangunan.
Karena cukup banyak aktivitas manusia yang tidak dapat
diselenggarakan akibat ketidaksesuaian kondisi iklim luar, manusia membuat
bangunan. Dengan bangunan, diharapkan iklim luar yang tidak menunjang aktivitas
manusia dapat dimodifikasidiubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang lebih
sesuai.
Usaha manusia untuk mengubah kondisi iklim luar yang
tidak sesuai menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai seringkali tidak
seluruhnya tercapai. Dalam banyak kasus, manusia di daerah tropis seringkali
gagal menciptakan kondisi termis yang nyaman di dalam bangunan. Ketika berada
di dalam bangunan, pengguna bangunan justru seringkali merasakan udara ruang
yang panas, sehingga kerap mereka lebih memilihberada di luar bangunan.
Pada saat arsitek melakukan tindakan untuk menanggulangi
persoalan iklim dalam bangunan yang dirancangnya, ia secara benar mengartikan
bahwa bangunan adalah alat untuk memodifikasi iklim. Iklim luar yang tidak
sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan aktivitas manusia dicoba untuk diubah
menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai. Para arsitek yang kebetulan hidup,
belajar dan berprofesi di negara beriklim sub-tropis, secara sadar atau
tidakatau karena aturan membangun setempatkerap melakukan tindakan yang benar.
Karya arsitektur yang mereka rancang selalu didasari pertimbangan untuk
memecahkan permasalahan iklim setempat yang bersuhu rendah. Bangunan dibuat
dengan dinding rangkap yang tebal, dengan penambahan bahan isolasi panas di
antara kedua lapisan dinding sehingga panas di dalam bangunan tidak mudah
dirambatkan ke udara luar.
Meskipun mereka melakukan tindakan perancangan guna
mengatasi iklim sub-tropis setempat, karya mereka tidak pernah disebut sebagai
karya arsitektur sub-tropis, melainkan sebagai arsitektur Victorian, Georgian
dan Tudor; sementara sebagian karya yang lain diklasifikasikan sebagai
arsitektur modern (modern architecture), arsitektur pasca-modern (post-modern
architecture), arsitektur modern baru (new modern architecture), arsitektur
teknologi tinggi (high-tech architecture), dan arsitektur dekon.
Di sini terlihat bahwa
arsitektur yang dirancang guna mengatasi masalah iklim setempat tidak selalu
diberi sebutan arsitektur iklim tersebut, karena pemecahan problematik iklim
merupakan suatu tuntutan mendasar yang 'wajib' dipenuhi oleh suatu karya
arsitektur di manapun dia dibangun. Sebutan tertentu pada suatu karya
arsitektur hanya diberikan terhadap ciri tertentu karya tersebut yang
kehadirannya 'tidak wajib', serta yang kemudian memberi warna atau corak pada
arsitektur tersebut. Sebut saja arsitektur yang 'bersih' tanpa embel-embel
dekorasi, yang bentuknya tercipta akibat fungsi (form follows function) disebut
arsitektur modern. Arsitektur dengan penyelesaian estetika tertentuyang antara
lain menyangkut bentuk, ritme dan aksentuasidiklasifikasikan (terutama oleh
Charles Jencks) ke dalam berbagai nama, seperti halnya arsitektur pasca-modern,
modern baru dan dekonstruksi. Semua karya arsitektur tersebut tidak pernah
diberi julukan 'arsitektur sub-tropis' meskipun karya tersebut dirancang di
daerah iklim sub-tropis guna mengantisipasi masalah iklim tersebut.
Kemudian mengapa muncul sebutan arsitektur tropis?
Seolah-olah jenis arsitektur ini sepadan dengan julukan bagi arsitektur modern,
modern baru dan dekonstruksi. Jenis yang disebut belakangan lebih mengarah pada
pemecahan estetika seperti bentuk, ritme dan hirarki ruang. Sementara arsitektur
tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis, adalah karya arsitektur yang mencoba
memecahkan problematik iklim setempat.
Bagaimana problematik iklim tropis tersebut dipecahkan
secara desain atau rancangan arsitektur? Jawabannya dapat seribu satu macam.
Seperti halnya yang terjadi pada arsitektur sub-tropis, arsitek dapat menjawab
dengan warna pasca-modern, dekonstruksi ataupun High-Tech, sehingga pemahaman
tentang arsitektur tropis yang selalu beratap lebar ataupun berteras menjadi
tidak mutlak lagi. Yang penting apakah rancangan tersebut sanggup mengatasi
problematik iklim tropishujan deras, terik radiasi matahari, suhu udara yang
relatif tinggi, kelembapan yang tinggi (untuk tropis basah) ataupun kecepatan
angin yang relatif rendahsehingga manusia yang semula tidak nyaman berada di
alam terbuka, menjadi nyaman ketika berada di dalam bangunan tropis itu.
Bangunan dengan atap lebar mungkin hanya mampu mencegah air hujan untuk tidak
masuk bangunan, namun belum tentu mampu menurunkan suhu udara yang tinggi dalam
bangunan tanpa disertai pemecahan rancangan lain yang tepat.
Dengan pemahaman semacam ini, kemungkinan bentuk
arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis, menjadi sangat terbuka.
Ia dapat bercorak atau berwarna apa saja sepanjang bangunan tersebut dapat
mengubah kondisi iklim luar yang tidak nyaman, menjadi kondisi yang nyaman bagi
manusia yang berada di dalam bangunan itu. Dengan pemahaman semacam ini pula,
kriteria arsitektur tropis tidak perlu lagi hanya dilihat dari sekedar 'bentuk'
atau estetika bangunan beserta elemen-elemennya, namun lebih kepada kualitas
fisik ruang yang ada di dalamnya: suhu ruang rendah, kelembapan relatif tidak
terlalu tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai,
terhindar dari hujan, dan terhindar dari terik matahari. Penilaian terhadap
baik atau buruknya sebuah karya arsitektur tropis harus diukur secara
kuantitatif menurut kriteria-kriteria fluktuasi suhu ruang (dalam unit derajat
Celcius); fluktuasi kelembapan (dalam unit persen); intensitas cahaya (dalam
unit lux); aliran atau kecepatan udara (dalam unit meter per detik); adakah air
hujan masuk bangunan; serta adakah terik matahari mengganggu penghuni dalam
bangunan. Dalam bangunan yang dirancang menurut kriteria seperti ini, pengguna
bangunan dapat merasakan kondisi yang lebih nyaman dibanding ketika mereka
berada di alam luar.
Penulis menganggap bahwa definisi atau pemahaman tentang
arsitektur tropis di Indonesia hingga saat ini cenderung keliru. Arsitektur
tropis sering sekali dibicarakan, didiskusikan, diseminarkan dan diperdebatkan
oleh mereka yang memiliki keahlian dalam bidang sejarah atau teori arsitektur.
Arsitektur tropis seringkali dilihat dari konteks 'budaya'. Padahal kata
'tropis' tidak ada kaitannya dengan budaya atau kebudayaan, melainkan berkaitan
dengan 'iklim'. Pembahasan arsitektur tropis harus didekati dari aspek iklim.
Mereka yang mendalami persoalan iklim dalam arsitekturpersoalan yang cenderung
dipelajari oleh disiplin ilmu sains bangunan (fisika bangunan)akan dapat
memberikan jawaban yang lebih tepat dan terukur secara kuantitatif. Mereka yang
dianggap ahli dalam bidang arsitektur tropisKoenigsberger, Givoni, Kukreja,
Sodha, Lippsmeier dan Nick Bakermemiliki spesialisasi keilmuan yang berkaitan
dengan sains bangunan, bukan ilmu sejarah atau teori arsitektur.
Kekeliruan
pemahaman mengenai arsitektur tropis di Indonesia nampaknya dapat dipahami,
karena pengertian arsitektur tropis sering dicampuradukkan dengan pengertian
'arsitektur tradisional' di Indonesia, yang memang secara menonjol selalu
dipecahkan secara tropis. Pada masyarakat tradisional, iklim sebagai bagian
dari alam begitu dihormati bahkan dikeramatkan, sehingga pertimbangan iklim
amat menonjol pada karya arsitektur tersebut. Manusia Indonesia cenderung akan
membayangkan bentuk-bentuk arsitektur tradisional Indonesia ketika mendengar
istilah arsitektur tropis. Dengan bayangan iniyang sebetulnya tidak seluruhnya
benarpembicaraan mengenai arsitektur tropis akan selalu diawali. Dari sini pula
pemahaman mengenai arsitektur tropis lalu memiliki konteks dengan budaya, yakni
kebudayaan tradisional Indonesia. Hanya mereka yang mendalami ilmu sejarah dan
teori arsitektur yang mampu berbicara banyak mengenai budaya dalam kaitannya
dengan arsitektur, sementara arsitektur tropis (basah) tidak hanya terdapat di
Indonesia, akan tetapi di seluruh negara yang beriklim tropis (basah) dengan
budaya yang berbeda-beda, sehingga pendekatan arsitektur tropis dari aspek
budaya menjadi tidak relevan.
Dari
uraian di atas, perlu ditekankan kembali bahwa pemecahan rancangan arsitektur
tropis (basah) pada akhirnya sangatlah terbuka. Arsitektur tropis dapat
berbentuk apa sajatidak harus serupa dengan bentuk-bentuk arsitektur
tradisional yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia, sepanjang rancangan bangunan
tersebut mengarah pada pemecahan persoalan yang ditimbulkan oleh iklim tropis
seperti terik matahari, suhu tinggi, hujan dan kelembapan tinggi.
b. Analisis
Pengaruh Iklim Terhadap Kenyamanan Thermal Rumah Halit-Mbol Chalit
Bentuk arsitektur rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang
tercipta berdasarkan budaya appabolang ternyata juga tidak lepas dari
pertimbangan – pertimbangan kondisi iklim lingkungannya. Untuk itu pada bab
analisisi ini dicoba untuk membuktikan bahwa rumah tinggal suku Maybrat, Imian,
Sawiat, yang tercipta dari hasil budaya Appabolang mampu mengantisipasi iklim
untuk mencapai kenyamanan thermal dalam bangunannya, sebagai berikut:
1. Pengaruh
Sinar Matahari
Secara umum, sinar matahari dapat memberikan
pengaruh baik, karena cahaya matahari dapat digunakan sebagai pencahayaan
alami. Namun, sinar matahari terutama sinar matahari langsung, mengandung panas
yang dapat mempengaruhi kenyamanan, untuk itu masuknya panas kedalam bangunan
perlu dihindari.
Letak georafis Kabupaten Sorong Selatan pada
daerah khatulistiwa berada pada posisi 131° 42¹ 0”BT - 132° 58¹ 12”BT dan 0° 55¹ 22” LS -
2° 17¹ 24” LS. Kabupaten Sorong Selatan yang luasnya sekitar 1.321.189,39 ha
(berdasarkan peta). Berdasarkan diagram posisi
matahari (sun-path diagram), waktu
riil Kabupaten Sorong Selatan pada pukul 12.00 (waktu matahari) adalah pukul
12.6. jadi jumlah panas maksimum yang diterima apabila matahari mencapai titik
kulminasi yaitu pukul 12.6 siang.
Untuk rumah tinggal, sinar matahari langsung yang dirasakan mengganggu adalah pukul 10.00 – 15.00. berdasarkan sun-path diagram sudut pembayangan untuk setiap rumah sampel dapat ditentukan. Berdasarkan diagram matahari yang sesuai untuk lokasi penelitian ini dipilih 6° selatan. Kedalaman pembayangan setiap fasade bangunan pada jam 10.00 jam 13.00 dan jam 15.00 dapat dilihat pada tabel berikut:
Dari Tabel hasil analisis tersebut, maka dapat dikatakan bahwa untuk rumah halit-mbol chalit pada bulan Juni dan desember Jam 10.00, dinding dengan bukaan kaca disisi timur masih terkena sianr matahari langsung. Untuk itu masih membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang 1,4 – 1,7 m. Begitu pula pada sisi barat Jam 13.00 dan 15.00 masih membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang 1,2 – 1,5 m. Sedangkan yang lainnya pada bulan Desember disisi timur jam 10.00, sisi barat Jam 13.00 dan jam 15.00, serta sisi selatan pada bulan Desember Jam 13.00 dan jam 15.00 masih membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang masing-masing 1,4 – 1,8 m, 1,5 -2 m dan 1,2 – 1,5 m. Sedangkan pada bagian rumah yang lain, pada bulan Juni jam 15.00 sisi utara dan pada bulan Juni dan Desember sisi barat Jam 13.00 dan 15.00, masing-masing membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang 1,3 – 1,5 m dan 1,5 – 2 m. Bagian rumah yang lain, pada bulan Juni dan Desember sisi selatan jam 10.00, 13.00, dan 15.00 masing-masing membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang 1,5 – 1,7 m, 1,5 – 1,8 m, dan 1,3 – 1,5 m. Sedangkan untuk sisi rumah yang lain, pada bulan Desember sisi selatan jam 10.00, bulan Juni sisi utara jam 10.00 dan bulan Juni dan Desember sisi barat Jam 13.00, jam 15.00, masing-masing membutuhkan pematah sinar matahari sepanjang 1,2 – 1,5 m, 1,2 – 1,4 m, dan 1,5 – 1,7 m. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
b. Hubungan Bentuk Arsitektur Rumah
Tinggal dengan Kenyamanan Thermal.
Iklim tropis lembab adalah jenis
iklim yang sangat sulit ditangani untuk mendapatkan tingkat rsponsibilitas yang
maksimal. Tanpa pengkondisian udara buatan, jelas sulit untuk mencapai
kondisi internal yang nyaman untuk dihuni (Szokoli 1981).
Segala bentuk pendinginan pasif sulit untuk dirancang secara arsitektur,
hal ini disebabkan kondisi iklim yang unik. Kelembaban radiasi inframerah.
Demikian pula suhu udara malam hari yang tidak terlalu rendah tidak mungkin
untuk memanfaatkan pendinginan secara konveksi.
Kenyamanan hanya dapat dicapai apabila pada suatu kondisi udara tertentu,
hanya dapat dicapai apabila terdapat suatu kecepatan angin tertentu yang mampu
menghasilkan proses evaporasi tubuh yang seimbang, dengan kata lain eksistensi
angin dalam hal ini diperlukan terutamauntuk perancangan ruang luar. Dalam
rangkaian tatanan ruang berhubungan erat dengan elemen rumah seperti: atap,
dinding, lantai dan sebagainya. Dari uraian ini maka dapat dikatakan bahwa
rumah tinggal (bangunan) beserta elemen – elemen pembentukan dan tatanan
lingkungannya memberikan sumbangan terhadap kenyamanan didalam bangunan.
Berikut uraiannya :
a. Faktor Pembentukan dan Elemen
Bangunan
Bentuk dan elemen bangunan merupakan factor penting
yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai kenyamanan thermal dalam bangunan.
Bentuk bangunan yang tepat adalah bentuk yang mampu memanfaatkan cahaya
matahari untuk pencahayaan alam dan menghindari panas yang timbul. Bentuk
tersebut bisa juga berpengaruh pada jalannya angin untuk mendapatkan pergantian
udara yang diperlukan. Bentuk dan elemen – elemen bangunan yang dimaksudkan
meliputi : Bentuk dan denah, atap dan dinding, overstek, serta material dan
warna.
1) Bentuk dan Denah
bentuk bangunan yang tepat adalah bentuk bangunan
yang mampu mendapatkan matahari pagi dengan menghindari panas pada siang hari.
Bentuk tersebut bisa juga berpengaruh pada jalannya angin untuk mendapatkan
pergantian udara yang diperlukan. Sehubungan dengan pergantian udara didalam
ruang, maka didalam ruang tersebut harus diperbarui, misalnya untuk ruang yang
bervolume 5 m³/orang, bahwa udara dapat diganti sebanyak 15 m³/orang/jam. Bila
volume kurang dari itu, maka pergantian udara harus lebih cepat lagi yaitu 25
m³/orang/jam. Pada dasarnya bentuk Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian
Sawiat berdenah membentuk Empat Persegi.
2) Bukaan
Tidak dapat disangkal lagi didalam usaha untuk
menghasilkan suatu perencanaan yang baik, bukan saja luas dan sisi dari ruangan
yang harus mendapat perhatian, tetapi juga penempatan serta ukuran yang tepat
dari bukaan – bukaan (Pintu, Jendela dan lubang ventilasi) perlu mendapat
kajian yang teliti, demi tercapainya kenyamanan.
Ukuran dari bukaan lebih tergantung pada
pertimbangan keampuan menerima sinar matahari, dan kemudian memeriksa daripada
pertimbangan temperature. Dari sisi menerima sinar matahari paling sedikitnya
bukaan. Penempatan bukaan juga dibuat pada sisi paling mudah untuk memeriksa.
Untuk ventilasi dari penerangan alami, dalam banyak kasus, suatu jendela berupa
20% luasan dinding telah mencukupi.
Jika kelebihan panas terjadi, ventilasi silang perlu
diberikan, tetapi pada beberapa bagian waktu, hal itu turut menyumbang pada
perasaan dinding yang tak nyaman sehingga perlu disiapkan penutup bukaan –
bukaan, jendela dan pintu. Disisi lain, jika tida ada angin yang kuat yang
perlu dihindari, maka orientasi bukaan tidak memperhatikan perlunya angin
langsung, sehingga perolehan panas matahari menjadi satu – satunya factor dalam
pengaturan orientasi jendela.
3) Atap dan Dinding
Atap dan dinding pada bangunan adalah bagian –
bagian yang paling banyak menerima radiasi matahari secara langsung. Radiasi
tersebut melalui proses refleksi dan atau transmisi yang dihantarkan masuk
kedalam ruangan. Atap sampai sejauh ini merupakan elemen yang sangat penting,
karena menerima tadiasi terbesar. Hal ini disebabkan kedudukannya yang langsung
menghadap matahari, untuk itu perlu adanya usaha penyekatan untuk mengurangi
pengaruh matahari terhadap ruang dibawahnya.
Bangunan selain berfungsi
sebagai pelindung terhadap panas dan sinar matahari, juga terhadap hujan yaitu
terhadap kebasahan / kelembabannya dan hempasannya. Atap berfungsi sama dengan dinding. Dinding bangunan harus
menghadapi alam luar dan ruang dalam. Untuk menghadapi alam luar, dinding harus
menjadi pelindung terhadap radiasi matahari, isolasi/penghalang kalor dari
luar, pelindung terhadap hempasan hujan dan kelembaban dari luar, serta
pelindung terhadap arus angin luar. Terhadap ruang dalam, dinding harus
senangtiasa memelihara suhu yang diminta dalam ruang, pengatur derajat
kelembaban dalam ruangan, dan mengatur ventilasi didalam ruangan.
Terhadap kenyamanan bangunan yang
berkesinambungan/menerus ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengurangi
besarnya pengaruh radiasi terhadap bangunan, yaitu dengan cara pembayangan atap
dan didalam ruangan, kerapatan dinding harus diatur agar tetap memiliki bagian
– bagian yang berhubungan sebagai ventilasi alami.
4) Overstek / Pelindung
Pada daerah dengan iklim panas – lembab, overstek –
overstek yang lebar dan serambi yang luas sangat dibutuhkan untuk menahan silau
langit, melindungi dari hujan dan juga memberi bayangan peneduh. Penahan
matahari dan kisi – kisi digunakan untuk melindungi bukan – bukan selama
periode kemarau, dan juga memberi keuntungan pada musim hujan, yaitu dapat
melindungi dari hempasan air hujan.
System pemayungan atau penyaringan merupakan cara
yang cukup bermanfaat untuk mencapai kenikmatan terhadap sengatan dan silau
matahari. Pemayungan atau penyaringan sinar matahari selain bermaksud
mengurangi atau memperlunak sengatan dan silau, sekaligus juga mengurangi kalor
yang terpantul dari benda atau bidang – bidang halaman.
Penggunaan overstek atau elemen – elemen pematah
sinar matahari harus deperhitungkan terhadap arus ventilasi. Jika sesuatu
bangunan akan memanfaatkan semaksimal mungkin maka potensi alami elemen
fisiknya harus dipilih sedemikian rupa sehingga cocok sebagai alat pelindung
matahari tetapi sekaligus tetap untuk system ventilasinya.
5) Material dan Warna
Material dan warna juga merupakan salah satu unsure
yang mempengaruhi panas dalam bangunan. Warna dapat mempengaruhi terhadap
jumlah panas yang berpengaruh terhadap suhu udara dalam bangunan. Pemilihan
warna, struktur dan material/bahan bangunan harus benar – benar dikombinasikan
dengan cermat.
Permukaan air / kulit bangunan yang reflektif dapat
digunakan sepenuhnya untuk mengurangi beban panas. Warna putih atau permukaan
terang sangat menguntungkan untuk bangunan yang dihuni sepanjang siang hari.
Dalam kasus bangunan digunakan sepanjang hari, akan lebih baik kalau panas
matahari bisa disimpang untuk malam hari. Namun hal ini kurang tepat untuk
daerah tropis di dataran rendah. Pada malam hari temperature menjadi rendah
tetapi kelembabannya tinggi. Karena itu bahan terang yang lebih memantulkan
panas bisa lebih cocok.
Nilai – nilai pemantulan dan penyerapan cahaya untuk
berbagai bahan dan jenis permukaan tidak hanya penting berhubungan dengan
kesilauan, tetapi juga merupakan data – data yang sangat penting untuk
penggunaan bahan bangunan yang tepat. Berikut lihat tabl nilai – nilai
pemantulan dan penyerapan berbagai bahan jenis permukaan sebagai berikut :
a. Kriteria Perancangan Kenyamanan
Thermal Bangunan
Dalam bangunan rumah tinggal, yang dikehendaki adalah pendayagunaan alam
natural untuk proses pendinginan, maka salah satu cara mengurangi dampak panas
ini adalah dengan cara memberikan system control pada bangunan. System kontrol
dengan pendekatan semacam ini disebut sebagai system pendinginan pasif. Pada
dasarnya control thermal di dalam bangunan dilakukan dengan pendekatan
perancangan arsitektur yang beradaptasi optimal terhadap kondisi alam.
Penempatan bangunan dan konstruksi serta pemilihan bahan yang sesuai,
maka temperatur ruangan dapat diturunkan beberapa derajat tanpa peralatan
mekanis. Perbedaan temperature yang kecil saja terhadap temperature luar atau
gerakan udara labatpun suda dapat menciptakan perasaan nyaman bagi manusia yang
sedang berada di dalam ruang.
· Orientasi bangunan
§ Orientasi bangunan
· Iklim, (aspek panas dan terang matahari, aspek keberadaan dan kecepatan angin dan aspek curah hujan)
Akhir dalam perancangan thermal ini adalah kondisi dalam ruang yang langsung berhubungan dengan manusia. Akhirnya bahwa bangunan harus berubah, sistem lingkungan diluar menjadi suatu lingkungn didalam yang sesuai untuk habitasi manusia.
b. Analisis
Lokasi dan
Sistem Tatanan Lingkungan.
1. Lokasi
Lokasi adalah salah satu faktor yang harus
dipertimbangkan untuk mendirikan bangunan, khususnya bila ditinjau dari sisi
kelembaban. Misalnya, daeraj lembah pada pagi hari penuh dengan kabut yang
mengandung kelembaban dan begitu pula pada pembangunan rumah diatas sungai atau
rawa – rawa. Khususnya yang tinggal didaerah pantai harus diingat, bahwa angin
laut selain membawa kelembaban, juga mengandung kadar garam yang tinggi
sehingga dapat merusak bahan dari logam dan besi.
Dari sisi temperature, bidang daratan menjadi panas duakali lebih cepat daripada bidang air dengan luas yang sama. Bidang air kehilangan sebagaian energi panasnya karena penguapan, temperature udara sebagian besar ditentukan oleh sentuhan udara dengan permukaan tanah, maka temperature yang tinggi selalu berhubungan dengan permukaan tanah, maka temperature yang tinggi selalu berhubungan dengan kelembaban udara yang rendah, dan temperature yang sedang dengan kelembaban yang tinggi. Akhirnya menjadi suatu gejala bahwa pada garislintang yang sama dan waktu musim panas yang sama, temperature terrendah terjadi diatas permukaan air dan temperature tertinggi diatas bentuk didalam musim dingin terjadi kebalikan.
2. Kepadatan Bangunan
Kepadatan bangunan adalah jarak antara bangunan disuatu area yang akan membentuk temperature lingkungan. Area dengan kepadatan tinggi secara umum akan memiliki temperatur lebih tinggi daripada area yang kurang padat. Meskipun hal ini juga harus memperhatikan kondisi lainnya seperti ; kecepatan angin, jenis dan kerapatan vegetasi, ketinggian dan laut serta posisinya terhadap garis edar matahari.
3. Geometri Tatanan
Bentuk dan keteraturan tatanan lingkungan akan banyak berpengaruh pada kecepatan angin. Dengan semakin banyak belokan – belokan maka kecepatan ini dapat dipertimbangkan apakah angin diperlukan untuk menghembus lebih kuat ataukah sebaliknya angina harus dikurangi kecepatannya.
c. Analisis
Pengaruh Iklim Terhadap Kenyamanan Thermal
Rumah hunian halit - Mbol chalit
Bentuk
Arsitektur tradisional suku Maybrat Imian Sawiat yang tercipta berdasarkan
budaya appabolang ternyata juga tidak lepas dari pertimbangan – pertimbangan
kondisi iklim lingkungannya. Untuk itu pada bait analisa ini dicoba untuk
membuktikan bahwa rumah tinggal suku Maybrat Imian sawiat yang tercipta dari
hasil budaya appabolang, mampu mengantispasi iklim untuk mencapai kenyamanan
thermal dalam bangunannya.
a. Pengaruh
Sinar Matahari
Secara umum sinar matahari dapat memberikan pengaruh baik, karena cahaya dapat digunakan sebagai pencahayaan alami. Namun sinar matahari terutama sinar matahari langsung mengandung panas yang dapat mempengaruhi kenyamanan, untuk itu masuknya panas kedalam bangunan perlu dihindari.
Letak geografis wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, Kabupaten Sorong Selatan pada daerah Khatulistiwa berada pada pisisi 131° 42¹ 0” BT - 132° 58¹ 12” BT dan 0° 55¹ 12” LS - 2° 17¹ 24” LS. Berdasarkan posisi matahari (sun-path diagram), waktu riil Kabupaten Sorong Selatan Pada pukul 12.00 (waktu matahari) adalah pukul 13.14. jadi jumlah panas maksimum yang diterima apabila matahari mencapai titik Kulminasi yaitu pukul 13.14. siang.
Untuk
rumah tinggal, sinar matahari langsung yang dirasakan mengganggu adalah pukul
10.00 – 15.00. berdasarkan sun-path diagram sudut pembayangan untuk
setiap rumah di
wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, dapat ditemukan. Berdasrkan diagram matahari
yang sesuai untuk lokasi ini dipilih dari 6° selatan. Kedalam pembayangan
setiap fasade bangunan pada jam 10.00 jam 13.00 dan jam 15.00 dapat
dilihat pada table:
a.
Pemanfaatan Cahaya Matahari
Pemanfaatan
cahaya matahari untuk pencahayaan alami pada tiap rumah tradisional Maybrat,
dapat dikatakan hamper seluruhnya berfungsi dengan baik karena ruang yang
memiliki kedalaman dalam ukuran tertentu. Dari lubang bukaan dan lubang kisi –
kisi yang mana memberi celah pada pemasangan didnding.
b.
Pengaruh temperatur Udara
Temperature
udara pada rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat erat hubungannya dengan
pengaruh radiasi panas matahari dan asap api yang menimpa dalam rumah. Pada
permukaan hunian Suku Maybrat Imian Sawiat umumnya merupakan bidang air dan
daratan sehingga pada bidang air temperaturnya berkisar dari temperatur sedang
ke temperature rendah dan dengan kelembaban yang tinggi. Hal ini berbeda dengan
di daratan, yang mana temperature dari tinggi dan kelembaban udara rendah. Hal
ini disebabkan karena bidang daratan lebih panas duakali lebih cepat daripada
bidang air pada luas yang sama. Dan bidang air kehilagan sebagai energi
panasnya karena penguapan. Temperatur udara dalam sehari rumah Maybrat Imian
Sawiat juga dipengaruhi oleh kepulan asap hasil pembakaran api dalam rumah.
Namun dalam pengukuran kenyamanan kepulan asap yang keluar merupakan salah satu
hasil energi panas yang menetralisir temperatur udara dalam rumah yang sangat
lembab di banding kalau tanpa membakar api, yang mana kenyamanan dalam rumah
sangat terasa lembab (dingin) terhitung pada waktu jam 19.00 – 07.00 pagi.
Pada
analisa ini menunjukan temperatur ruang luar (Isit--teras) pada siang hari rara
– rata lebih rendah daripada temperatur ruang dalam (samu mato), namun
perbedaan rentang temperaturenya kecil. Hal ini disebabkan karena material
didnding yang digunakan adalah Kulit kayu, papan Kayu, Gaba – gaba yang
dipasang secara porus (bercekah), sehingga suhu dingin atau panas serta kepulan
asap akibat pembuangan dapat dengan mudah masuk keluar dalam rumah. Dari nilai
rentang temperature sepanjang hari, hanya pada jam 8.00 pagi dan 16.00 sore
yang menunjukkan keadaan sebaliknya.
Karena pada jam – jam ini sudut matahari mengecil (Ayio Hawer) sehingga
bayangan yang terjadi merupakan bayangan pendek
yang mengakibatkan ruang dalam menerima sinar matahari langsung.
c.
Pengaruh Hujan dan Kelembaban
Curah
hujan di kabupaten Sorong Selatan relative terjadi tiap tahun dan hujan yang
terjadi di kabupaten sorong selatan adalah jenis hujan orograsif.
Pengaruh
hujan sangat berkaitan dengan elemen atap pada bangunan, atap merupakan bagian penting
suatu bangunan People have lived without walls but never without roofs, manusia ditakdirkan sebagai makhluk yang
memerlukan perlindungan dan bentuk perlindungan awal adalah atap. Atap
merupakan elemen bangunan yang paling banyak menerima radiasi matahari. Jadi
dapat dikatakan bahwa iklim merupakan factor yang mempengaruhi sudut kemiringan
atap dalam perancangan tipe arsitekturnya.
Untuk
mengurangi kondisi yang tidak nyaman akibat kelembaban yang terlalu tinggi,
dapat diatasi dengan adanya pembuatan tungku api dalam ruang dan memberi
gerakan udara melalui cros ventilasi dan tatanan massa yang membantu
mengarahkan jalannya angin, yang mana sebagai pengarah keluarnya kepulan asap
melalui cros ventilation dan lubang – lubang dalam tatanan massa bangunan.
Usaha yang dilakukan oleh Suku Maybrat Imian Sawiat untuk mengurangi kelebaban dan mencegah kepulan asap yang mana merupakan sat yang mempengaruhi paru – paru pernapasan, maka yang pertama diperhatikan adalah ventilasi yang berfungsi mengarahkan angin kedalam ruang dan tungku api, yang berfungsi sebagaui tempat pembakaran kayu yang bisa memberi kehangatan pada malam hari yang terasa dingin akibat kelembaban. Walau tidak disadari akan adanya tungku api pada mulanya, yang mana mungkin dipikir hanya sebagai tempat memasak, namun bermanfaat untuk mengusir kedinginan dan kelembaban yaitu dengan membakar api.
d.
Kenyamanan Thermal Rumah Hunian
Suku Maybrat Imian Sawiat.
Kenyamanan thermal yang dirasakan oleh penghuni rumah tradisional Maybrat Imian Sawiat, dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu : temperature Udara, Kelembaban Udara, kecepatan aliran udara, pengapan asap api, dan radiasi panas. Disamping itu aktivitas yang dilakukan, segala jenis simpanan dan pakain yang dikenakan juga akan berpengaruh. Kondisi udara didalam bangunan dikatakan nyaman (thermal), jika penghuni merasa tidak panas dan tidak dingin, kondisi udara yang dirasakan nyaman mempunyai kombinasi harga – harga tertentu dari temperature, kelembaban dan kecepatan aliran udara.
B.2. Nilai Bangunan
Arsitektur Maybrat Imian Sawiat
Nilai – nilai yang termuat dalam
bangunan rumah tradisional suku Maybrat, Imian, Sawiat, sangat berfariasi, yang
mana di bedakan atas dua jenis utama yaitu nilai – nilai yang terkandung dalam
bangunan rumah hunian prolog dan nilai – nilai sakral yang termuat dalam bangunan sekolah tradisional
/ bangunan gereja tradisional (k’win – mbol wofle) sebagai pembanding.
1. Nilai Rumah Hunian
Telah diungkapkan pada bab
sebelumnya bahwa bentuk bangunan rumah hunian Suku Maybrat, Imian, Sawiat, memiliki satu ruang serbaguna dan teras, maka dapat disimpulkan bahwa
rumah hunian Masyarakat Maybrat, Imian, Sawiat, merupakan bangunan rumah
hunian yang sederhana, namun memuat beberapa nilai tertentu sebagai mana
terurai brikut:
a.
Keakraban
Dilihat
dari pembagian fungsi ruangnya maka dapat dikatakan bahwa manusia Maybrat Imian
dan Sawiat memiliki ikatan emosional keluarga yang sangat akrab, yang mana
menonjol dalam fungsi ruang.
Dikatakan
rumah hunian tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat terlihat sangat akrab karena
segala sesuatu yang dilakukan dalam rumah hunian tidak tersembunyi /
terpisahkan, seperti untuk salah satu keluarga melakukan aktifitas yang
menyangkut kekeluargaan pribadi harus dalam ruang keluarga yang tidak boleh
diketahui orang lain, atau makan di ruang makan, tidur di ruang tidur, masak di
ruang dapur, menerima tamu di ruang tamu. Rumah hunian tradisional suku Maybrat
Imian Sawiat memiliki teras dan satu ruang yang multi fungsi, yang mana
difungsikan sebagai ruang untuk menerima tamu, ruang makan, ruang bermain anak,
ruang keluarga, ruang masak, ruang tidur bahkan ruang yang digunakan untuk
melakukan berbagai aktifitas yang berkaitan dengan kebutuhan penghuni.
Pembinaan
akan keakraban yang diikatkan pada rumah hunian tradisional tersebut tidak
hanya terbatas dalam ruangan rumah belaka, namun kebiasaan tersebut dapat
terbawa dalam tali pergaulan hari-hari mereka. Yang mana seperti seseorang yang
pernah datang baik itu sekedar berkunjung sebagai sahabat ataupun sebagai seorang
famili/ikatan keluarga dekat, akan tetap dianggap sebagai saudara/i. hal itu akan terasa dan tetap terbawa dalam
keberlangsungan pergaulan mereka, karena misalnya ketika seorang sahabat yang
dikenal dalam kesulitan dan hendak meminta pertolongan ataupun perlindungan
pasti akan diberi perlindungan dan pertolongan sesuai dengan kemampuan mereka.
Hingga
kini masyarakat Suku Maybrat Imian Sawiat sangat menjujung tinggi persaudaraan tersebut, baik yang di bangun
dari turun temurun (old familiars)
bahkan pergaulan baru (new familiars). Untuk ikatan turun temurun old familiars diperhitungkan dari keturunan keluarga, yaitu
diperhitungkan dari keturunan ayah kandung dan ibu kandung, misalkan keturunan
dari ayah: Ibu dari ayah (marga karet) mempunyai berapa saudara/i, berapa anak
yang di lahirkan oleh masing – masing saudara/I ibu dari ayah tersebut, siapa
saja suami/istri mereka dan apa marga
dari masing – masing suami/istri mereka, berapa saudara/I mereka, dan marga apa,
siapa nama ayah dan ibu dari suami/istri mereka, apa marga mereka dan seterusnya, begitupula
dari silsilah seorang ibu kandung.
Bukan
hanya ikatan tersebut sebatas mengenal sebagai saudara atau family, namun
sebagai ikatan emosional yang mana mampu menghimpun pergaulan mereka dalam
menanggulangi segala persoalan yang dihadapi dalam ikatan keluarga mereka.
Misalkan anak dari marga Sagrim bertunangan dengan anak dari Marga Nauw, maka
mereka yang ikut serta dalam pembayaran harta adalah mereka yang memiliki
struktur keturunan dari ayah ibu dari anak laki – laki (Sagrim) yang diperhitungkan mulai dari turun temurun seorang ayah dan ibu
kandung hingga moyang mereka akan ikut serta mengambil bagian dalam pembayaran
harta/minang tersebut. Begitupula dari pihak perempuan yang dipinangi.
Tidak
hanya sebatas pergaulan familiar internal di wilayah maybrat imian sawiat saja,
namun pergaulan tersebut dijadikan sebagai salah satu system pergaulan moderen
yang mana kini diterapkan dalam system birokrasi dan relasi kerja mereka. Hal
tersebut terlihat begitu kental dalam system birokrasi dan relasi kerja, bisa
dikatakan system keluarga, kerabat dan teman.
b.
Sederhana
Dilihat dari bentuknya, maka arsitektur rumah hunian
suku Maybrat Imian Sawiat merupakan bangunan arsitektur hunian yang sederhana,
namun memiliki nilai dan norma yang sangat tinggi.
Arsitektur
hunian Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan bangunan sederhana yang mana
terlihat tidak begitu rumit dalam proses membangun. Suatu bangunan dikatakan
rumit karena memiliki ukiran dan motif yang berfariatif, yang mana menjadi
sorotan dalam pembentukkan estetika bangunan.
Disadari
bahwa arsitektur rumah hunian suku Maybrat Imian sawiat tidak begitu memuat
ukiran atau ornament – ornament tertentu, namun memiliki fungsi dan nilai
tersendiri. Hal inilah yang membedakan antara arsitektur hunian maybrat imian
sawiat dengan arsitektur lainnya.
Kesederhanaan
arsitektur rumah hunian suku Maybrat Imian Sawiat tidak hanya dilihat pada
wajahnya saja, namun dari pembagian ruangnya yang mana terdiri dari teras dan
ruang serbaguna, tidak seperti bangunan hunian moderen yang memiliki ruang
tamu, ruang tidur, dapur serta teras. Walau begitu sederhana, namun dalam
ungkapan pemiliknya bahwa rumah hinian tersebut memberikan kenyamanan kepada
mereka dalam mempertahankan hidup mereka hingga turun – temurun saat ini.
Disimpulkan
bahwa arsitektur hunian Suku Maybrat Imian Sawiat dibangun hanya memperhatikan fungsinya tanpa
memperhatikan ke-Estetikaan, sehingga terlihat begitu sederhana dalam meramu
nilai – nilai arsitektural yang dikandungnya.
c.
Terbuka
Untuk bangunan rumah hunian orang maybrat imian
sawiat umumnya tidak tersembunyi seperti rumah persembunyian (benteng
pertahanan-- snek) dan rumah sekolah/rumah gereja (kwin – bol wofle). Secara
dekat, bangunan rumah hunian orang maybrat imian sawiat memberikan kesan akrab
dan terbuka. Hal ini terlihat pada penataan bentuk bangunan yang terlihat polos
dengan pembagian ruang yang multifungsi sehingga terkesan akan segala sesuatu
yang dilakukan tidak tersembunyi (transparan) atau terbuka untuk dilihat orang
sekitar dalam rumah.
2. Nilai Rumah Suci / Rumah Sekolah k’wiyon-mbol
wofle
Pada umumnya bangunan rumah hunian
orang Maybrat Imian Sawiat tampak sederhana, terbuka, dan memiliki satu ruang
yang multi fungsi serta teras, namun untuk bangunan sekolah
tradisional/bangunan rumah suci atau gereja tradisional (k’wiyonn – mbol wofle), memiliki perbedaan yang sangat mencolok yaitu :
a.
Sakral
Bangunan rumah suci / rumah sekolah, merupakan salah
satu bangunan khas orang Maybrat Imian Sawiat yang mana dipercaya sebagai
bangunan suci (rumah pamali), yang mana hanya diperbolehkan bagi orang – orang
tertentu (raa wiyon-na woflw) yang dapat menapakan kakinya didalam ruangan–
ruanganya.
Rumah
suci dianggap sebagai bangunan yang sakral, karena didalamnya memuat berbagai
macam makna, merupakan areal pendidikan atau tempat pelatihan dan tempat dimana
Allah bertahta serta tempat pertemuan antara manusia dan Allah. Tidak
diperkenangkan kepada orang – orang yang belum dibaptis atau tidak pernah
disekolahkan untuk masuk dan kaum perempuan dilarang melintas disekitarnya.
b.
Tersembunyi
Untuk
rumah hunian orang Maybrat Imian Sawiat berada pada areal terbuka, namun untuk
bangunan rumah suci/rumah sekolah sangat bertentangan. Dalam mendirikan bangunan rumah sekolah ada
beberapa aturan – aturan tertentu yang harus diikuti dalam membangun rumah suci
/ rumah sekolah antara lain adalah; waktu pelaksanaan, jumlah orang dengan
criteria – criteria yang dapat mendukung agar boleh untuk membangunnya, bahan –
bahan yang digunakan dalam membangun, jenis kayu yang dipakai dalam
membangunnya, jenis rotan yang digunakan, upacara dan persembahan –
persemabahan.
c.
Tertutup
dan Khusus
Rumah
suci / rumah sekolah selain dianggap sebagai bangunan yang sakral, tersembunyi,
juga tertutup atau merupakan bangunan yang dipagari sedemikian rapih hingga tak
bercela, dengan tujuan agar tidak kelihatan aktifitas pendidikan dan pengajaran
dalam rumah suci tersebut.
Dalam
pembagian ruang dan fungsinya, rumah suci / rumah sekolah memiliki aturan –
aturan yang sangat mengikat dan sangat tegas, yaitu antara lain : ruang luar
merupakan ruang dimana bisa dilintasi oleh orang awam (raa iin), untuk ruang
suci tidak bisa di lintasi oleh orang awam (raa iin), yang berhak masuk adalah
mereka yang sudah terdidik dalam pendidikan itu (raa win), namun untuk ruang
maha suci, tidak diperbolehkan kepada seorang guru biasa dan murid untuk
memasukinya namun yang berhak memasuki ruang tersebut adalah guru besar (raa
bam), karena pada ruang tersebut dianggap sebagai tempat bertahtanya Allah yang
maha kuasa yang mana dianggap sebagai ruang maha suci dan sangat sacral.
Kulit bia biasanya digunakan sebagai alat Bantu untuk memanggil masyarakat dalam melaksanakan sesuatu yang dianggap sangat penting dan terhormat. Misalnya seperti upacara penjemputan, kegiatan ceramah atau kegiatan kampong, memanggil orang ketika ada persoalan yang mendadak. Digunakan untuk memanggil dan memberitahukan orang keluar dari kampong berjauhan, kulit bia dapat menjangkaui jarak panggil 50 km – 70 k. ada beberapa cara kode tiupan yang dipake dalam meniup kulit bia, yaitu pertama bila ada kunjungan resmi atau upacara resmi dan kegiatan resmi, biasanya menggunakan satu kulit bia saja yang di tiup untuk memanggil masyarakat. Dalam peniupan acara – acara seperti ini, biasa tiupannya teratur, lambat, dan panjang. Namun berbeda dengan jenis tiupan berikut ini, bilamana ada sesuatu yang terdesaki seperti adanya serangan musuh dari kampong lain atau ada kematian, biasanya kulit bia yang ditiup berjumlah lebih dari satu bergantung banyaknya kulit bia dan orang yang meniupnya. Situasi seperti ini cenderung ditiup dengan cara cepat atau tergesa – gesa dengan tujuan memanggil dengan segera setiap penduduk kampong yang telah keluar ke kebun meninggalkan kampong bahwa ada sesuatu yang berbagaya telah terjadi di kampong. Dalam bentuk tiupan dan panggilan ini, cenderung membuat orang tergesa – gesa dan bisa meninggalkan kerjanya dengan keadaan terpaksa.
Bentuk ornament yang berupa ukiran tersebut diukir sedemikian rupa dengan rahang babi atau rusa yang merupakan hasil buruan sehingga tidak meninggalkan nilai – nilainya. Dalam kehidupan sehari – hari orang maybrat imian sawiat, siapa yang memiliki banyak gantungan rahang babi dan rusa yang merupakan hasil buruannya, menunjukkan suatu kehebatan tersendiri bagi keluarga tersebut. Keluarga atau kepala rumah tangga tersebut selalu merupakan orang yang terpandang sebaga pemburu terhebat diantara orang – orang sekitar, dan orang tersebut dikategorikan sebagai orang yang sangat mampu dalam menghidupkan keluarganya, dan ia dikategorikan sebagai orang berwibawa. Rahang babi dikonsepsikan sebagai lambang kebesaran.
B.3.a.
Bentuk
pengadopsian dari model jahitan koba – koba –am-hatik - Dan noken- yu (tas) sebagai estetika dan dekorasi
Dalam membentuk estetika pada aliran arsitektur tradisional suku maybrat, suku imian, suku sawiat ini, banyak merupakan hasil pengadopsian dari estetika dari hasil ciptaan orang maybrat, orang imian, orang sawiat, yang mana banyak tersirat makna yang luarbiasa. Berikut jenis atau permodelan aliran yang diadopsi sebagaimana berikut:
penghuni, adalah warna biru,
cokelat, hijau, merah, kuning, hitam, dan bentuk – bentuk hewan /plankton juga
memiliki jenis yang berbeda dan menakutkan, batu – batua dalam sungai juga
menunjukkan wajah yang menseramkan dan suasana sekitar sungai begitu hening
dengan gejala yang berdengting menyeramkan, di sebagian sungai kadang memberi
perlawanan kepada setiap orang yang ketika pada saat itu datang dengan membawa
sesuatu/magic yang mana menimbulkan adanya perlawanan antara alam sekitar
dengan alam ghaib/magic tersebut, atau air akan menunjukan murkanya kepada
orang yang sebentarlagi akan meninggal, atau orang yang telah diracun atau di
santet oleh suanggi. Kejadian tersebut dapat dilihat dapat dilihat dengan kasat
mata normal oleh setiap orang dan kejadian semacam ini bukan suatu kejadian
yang biasa – biasa saja untuk disaksikan, tetapi bagi orang maybrat, orang
imian, orang sawiat, menyaksikan kejadian semacam itu sebagai sesuatu yang
mistik dan merupakan kejadian yang melampaui akal pikiran sehat.
Hal ini berkaitan
dengan kepuasan manusia dan alam. Dikatakan sebagai kepuasan manusia karena
burung yang umumnya memberi bekas seperti ini (ru kawya, ru houf, dalam bhs.
Maybrat), selalu dijadikan sebagai patokan bahwa mereka bisa memperoleh telur
yang disebut telur maleo dan induknyapun bisa diburu. Selain burung maleo
dianggap sebai pelengkap pangan, orang maybrat, imian, sawiat, mempercayai akan
adanya suatu esensi yang menurut mereka telah menuntun burung tersebut. Dalam
mitos orang maybrat, imian, sawiat, menceriterakan bahwa burung- burung jenis
tertentu seperti kawya, houf (burung maleo), wer (burung nuri), kekaya
(burung setan), tam (kampret), tekum (burung walet), mbas dan swet (burung
cuit), merupakan jenis – jenis burung yang mempunyai penuntun atau burung
yang dianggap sangat memberikan berbagai makna yang berkaitan dengan esensi
hidup antara manusia dan alam. Alih – alih daripada kekhususan burung – burung
ini bagi kehidupan sehari – hari orang maybrat, imian, sawiat, memiliki
predikat masing – masing yang tak kalah menariknya yaitu:
- burung
houf, dan kawya (burung maleo), bagi orang maybrat imian sawiat, burung
maleo yang telurnya berwarna merah dan putih dengan ukuran telur yang
besar ukuran 3x ayam, dan jenis burung yang besar melebihi ukuran tubuh ayam.
Telur maleo biasanya bagi orang maybrat imian sawiat dihargai sebagai
suatu nilai tersendiri. Nilai yang ada pada telur maleo ini terlihat
ketika diberikan sebagai persentase atau rasa terimakasih yang ditunjukan
oleh seorang pemberi kepada penerima atas budi baiknya mungkin karena
penerima membantunya dalam berladang, atau membantu mendirikan sebuat
rumah, atau menolong pemberi dari kecaman musuh. Bentuk daripada rasa
syukur ini sering terjadi hingga saat ini terlihat di perkampungan maybrat
imian sawiat, dan kejadian ini dalam bahasa maybrat disebut boren.
- Wer
(burung nuri), sebagai burung yang dianggap magic oleh orang maybrat,
imian, sawiat, terutama kepada mereka yang bermarg/keret klen Safkaur. Dalam
ceritera legenda marga Safkaur, mengatakan bahwa burung nuri – wer-
merupakan burung penyelamat, dan lambang kekuatan mereka. Hal ini
berkaitan dengan kehidupan mula – mula orang maybrat imian sawiat terutama
dikhususkan kepada marga Safkaur, bahwa burung ini ketika zaman perang
suku, seseorang yang bernama Fneen Safkaur yang mana adalah ahli perang
khususnya dalam maraga Safkaur, ia sedang bersiap – siap menghadapi musuh
– musuhnya yang berdatangn, ketika pada saat itu juga burung nuri – wer –
yang berjumlah 3 ekor beterbangan mendahului musuh – musuh tersebut menuju
kepada Fneen Safkaur dengan mengeluarkan suara aneh merupakan ekspresi
yang mengatakan bahwa ia (fneen) sedang didatangi oleh musuh. Ketika fneen
mendengar suara aneh yang diekspresikan oleh burng nuri, ia langsung
menebak berapa jumlah musuh yang datang, ketika itu ia lalu berkata “wah,
banyak sekali musuh yang datang, melawan saya seorang diri” atau dalam
ucapan bahasa asli maybratnya “wo, bioh fo magin mama oh mefo, refo
jyio tesait oh mefo”. Pemikiran tersebut tidak lalu serta merta menutupi
akal daripada seorang Fneen, tetapi ketika itu juga, Fneen lalu mengangkat
tombaknya dan menombaki ketiga burung tersebut dengan satu tombak, dan
ketika itu juga ketiga burung tersebut tertikam sekaligus oleh tombak
tersebut. Ketika Fneen berhasil menikam ketiga burung tersebut, ia lalua
mengirimnya bersama dengan tombak kepada para musuh yang berdatangan,
ketika musuh – musuh itu melihat apa yang dilakukan oleh Fneen, maka
timbullah pemikiran oleh ketua perang dan ia berkata “wah, ini burung yang
kecil dengan kecepatan terban diudara saja dia sudah membidiknya dan hanya
dengan satu tombak dia membidik ketiga burung ini bersamaan? Berarti
jikalau kita kesana kita pasti terbunuh semua” dalam bahasa asli maybrat
“wo, wer ro m'fru foh mam ayoh u refo ait yame tuuf yie mkah sawia sou a?
Tanike anu wefo bmo kbe yame anu skak”. Analisa ini kemudian menjadi
pertimbangan yang harus diputuskan pada saat itu, dan akhirnya pemimpin
perang memutuskan untuk mereka pulang, karena mereka tidak mungkin
mengalahkan Fneen yang menurut mereka dia seorang ahli perang tanpa
tandingan.
- Kekaya
(burung suanggi), merupakan burung yang dalam legenda orang maybrat,
imian, sawiat, sebagai burung yang menyampaikan pesan atau informasi atau
kode kepada manusia bahwa mereka harus berhati – hati, karena
disekelilingnya ada setan/suanggi (kabes).
- Tam
(burung kampret), biasanya mengeluarkan suara di rumah oknum atau orang
yang menjadi target untuk diserang oleh setan/suanggi (kabesfane),
sehingga orang tersebut menjadi was – was dan berjaga – jaga dalam
melakukan segala aktivitas atau berhati – hati mengawasi keluarga yang
pada saat itu sedang mengalami kesakitan atau menderita penyakit yang
berat.
- Tekum
(burung walet). Dalam mitologi kepercayaan orang maybrat imian sawiat,
tekum merupakan burung sorga atau burung yang membawa berkat. Misalnya
ketika petani sedang berkebun dan ketika itu juga tekum beterbangan dan
mengeluarkan suaranya, maka ketika itu juga petani tersebut berkata
“berkat besar telah datang dan ladang ini akan berlimpahruah hasilnya”
dalam bahasa maybrat “hanyah mase mefo”.
Mbas dan Swet (burung cuit). Keseharian orang maybrat imian sawiat, ketika di tengah semak belukar yang dikelilingi oleh pepohonan besar jika terdengar suara burung cuit (mbas) yang serempak dalam jumlah perkumpulan yang banyak, berarti pada tempat tersebut ada seekor kusu pohon, atau ular yang besar, atau burung yang besar atau kanguru atau hewan – hewan besar lainnya. Yang mana bisa kita temui serta ditangkap. Sedangkan Swet (burung cuit) jenis ini, biasanya membawa pesan atau berita, yaitu dia selalu mendahului orang yang sedang mendekati kita dan mengeluarkan suaranya dengan berlompat – lompat menunjukan atraksi aneh kepada kita (swet mafa dalam bahasa maybrat). Jenis ini diadopsi dalam bentuk jahitan tas dan koba.
B.3.b.
Nilai Bangunan Arsitektur Tradisional Dalam Perkembangan Pembangunan
Dinegara
berkembang, sejak dahulu masyarakatnya mempunyai apresiasi tinggi terhadap
arsitektur. herbage tulisan, biku hasil
kajian ilmiah, penelitian tentang arsitektur banyak sekali ditulis,
diterbitkan, dibaca, dan aliran-alirannya diwujudkan dalam gaya bangunan
sebagai kebesaran identitas mereka, tidak hanya oleh para arsitek, tetapi oleh
kalangan luas dan herbage lapisan masyarakat. Disbanding dengan daerah lain,
propinsi papua yang juga memiliki gaya arsitektur cukup khas yang mana bisa
diangkat sebagai kebesaran dan kejayaan bagi orang papua sangat dilupakan.
Pada
bagian ini saya coba mengkaji keberhasilan, kesalahan dan kekurangan yang
dilakukan guna mengangkat arsitektur tradisional papua dalam perkembangan
pembangunan. Menjadi pelajaran saat ini dan waktu akan dating bahwa pembangunan
yang telah dikembangkan sekarnag tidak mengerti kebudayaan dan tidak
mencerminkan kepribadian budaya setempat serta tidak begitu mempertahankan
identitas arsitektur setiap daerah di papua. Salah satu tolok ukur kemajuan
budaya sebuah daerah dilihat dari aliran aristektur yang mana tampil dalam
wajah dan fisik bangunan. Kecenderungan masyarakat dan pemerintah dalam
mengadopsi gaya – gaya arsitektur luar seperti gaya arsitektur colonial, gaya
arsitektur romawi, gaya arsitektur joglo, gaya arsitektur minang, dan.y.l. hal
ini membuat arsitektur tradisional setiap suku bangsa di papua terlupakan. Ini
merupakan suatu penjajahan kultur yang menindas budaya papua. Dengan semakin
dilupakannya aliran – aliran arsitektur tradisional papua, maka ikut pula
menghilang kebesaran citra, karsa, dan karya orang papua, karena sebagaimana
dalam ungkapan bahasa semboyang arsitektur mengatakan bahwa; “arsitektur adalah
gambaran jiwa raga dan roh seseorang”, inilah kebesaran yang terlupakan.
Dengan
demikian, ditekankan bahwa dalam mendisain pembangunan papua yang hormat
budaya, maka diharuskan untuk mengangkat dan mengikutsertakan aliran arsitektur
tradisional dalam mendirikan sebuah bangunan, kalaupun masyarakat tidak
mengembangkannya, sebisamungkin gedung-gedung pemerintah tiap daerah wajib mengambil gaya dan corak
arsitektur tradisional daerah setempat.
Beberapa
bentuk arsitektur tradisional papua yang cukup unik dan menggambarkan kebesaran
orang papua seperti; bentuk bangunan rumah Honai, rumah tradisional Enjros
tobati, rumah tradisional arfak, dan rumah tradisional harit di maybrat imian
sawiat kabupaten sorong selatan. Suatu ungkapan kekesalan kini adalah bahwa
daerah-daerah propinsi papua yang memiliki gaya arsitekturnya sendiri ini
begitu didominasi oleh bangunan – bangunan dari daerah lain. Hal ini disebabkan
karena pemerintah Hindia Belanda lebih awal membangun papua dengan menerapkan
aliran arsitektur colonial, sebagaimana hingga saat ini difungsikan sebagai
gedung atau perkantoran-perkantoran pemerintah daerah bahkan ada yang dijadikan
sebagai rumah hunian masyarakat. Suatu pembunuhan karakter budaya arsitektur
papua yang telah dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda di daerah propinsi
papua. Dikabupaten Sorong Selatan, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1950,
secara brutal membongkar rumah-rumah tradisional yang dibangun oleh orang
maybrt imian sawiat sebagai bangunan terhormat seperti rumah sekolah dan gereja
(samu k’wiyon-bol wofle), dengan
menerapkan larangan-larangan untuk tidak mengembangkan atau membangu
bangunan-banguan tersebut kembali. Hal ini membuat orang maybrat imian sawiat
kini kehilangan gaya dan aliran arsitektural mereka. Disisilain, pada tahun
1962, pemerintahan indoneisa telah masuk kewilayah papua, yang mana pada waktu
itu disebut Irian Jaya dan menetap hingga sekarang dengan penerapan bangunan
yang juga tidak mempedulikan aliran arsitektur lokal. Kini aliran arsitektur
dari daerah lain yang mendominasi wajah perkotaan di seluruh papua.
Persoalannya bukanlah terletak pada kurangnya tenaga-tenaga arsitektur papua,
tetapi keinginan daripada pemilik yang mana cenderung menginginkan gaya
arsitektur lain ketimbang tidak menyadari akan gaya arsitekturnya yang tampak
sederhana, berbobot, bergaya sendiri, dengan segala macam nilai yang terkandung
didalamnya.
Tampak
jelas ketika kita berada diberbagai daerah; kabupaten sorong contohnya, gaya
arsitektur yang mendominasi diwilayah pesisir sungai remu adalah gaya
arsitektur bajo suku bugis, begitupun yang terdapat di pesisir pantai tehit,
gaya arsitektur yang tampak mendominasi adalah arsitektur tradisional Bajo,
orang bugis. Di jayapura, kini didominasi oleh arsitektur Asia, colonial, dan
disisipi dengan gaya arsitektur minang. Dimanokwari, arsitektur arfak juga
terlupakan dan kini wajah kota manokwari didominasi oleh aliran arsitektur colonial,
asia dan disisipi oleh aliran arsitektur minang. Didaerah wamena yang gaya arsitektur
tradisionalnya yang begitu terkenal di dunia (honai), masih juga tidak begitu
diperhatikan, wajah kotanyapu masih terlihat hamparan wajah arsitektur
pendatang semua. Merupakan salah satu pengikisan budaya bangsa.
Arsitektur
tradisional setiap daerah di propinsi papua merupakan kebesaran setiap suku
bangsa tersebut, karena merupakan hasil ciptaan mereka yang sebenarnya. Proses
akulturasi terhadap gaya arsitektur ini membuat orang papua semakin
ditelanjangi dengan cara yang dipergunakan oleh penjajah. Dalam refleksi
arsitektur tradisional papua yang telah kami analisis, merupakan suatu cara
penjajahan terhadap budaya. Selain budaya-budaya lain dibuang, disisi yang lain
kekayaan budaya dicuri serta diperdagangkan seperti ukiran, tarian dan corank
budaya unik lainnya. Suatu kesimpulan daripada refleksi budaya papua “bahwa
orang papua dulu sebelum penjajahan, disini diibaratkan seperti seorang gadis
manis yang sedang direbut oleh beberapa orang, setelah ia berhasil direbut,
bukan karena cantiknya saja yang menjadi rebutan, tetapi segala perhiasan yang
dikenakan disekujur tubuhnya diambil oleh orang yang merebutnya setelah
itu itu busana yang dikenakannyapun
dilepaskan satupersatu dan dibuang, kini seorang nona cantik menjadi kehilangan
harga dirinya karena semua yang ada padanya sebagai kebesaran telah hilang dan
kini dia telanjang sampai-sampai mahkotanya turut diambil, tetapi bersyukur
karena ia masih hidup. Walaupun ia masih hidup, dan ia mampu menciptakan busana
yang baru, tetapi tidak semuanya dari bahan yang ia miliki tetapi dari
bahan-bahan punya orang yang diambil dalam membuat busananya, karena semuanya
serba palsu maka nilai dirinya kini berkurang”.
Suatu
penjajahan terhadap arsitektur-arsitektur papua yang sedang berlangsung.
Semangat pembangunan yang ditunjukkan adalah semangat yang kami sebut egoisme
membangun. Kata egoisme membangun disini saya
gunakan karena konsep pembangunannya tidak menghargai apa yang disebut dengan
potensi lokal (local potences),
konsep pembangunannya begitu tertutup (closely
building concept), memikirkan dirinya sendiri (egoism), walaupun ia berada di wilayah kekuasaan budaya lain, akan
tetapi tetap menggunakan konsep budaya asing untuk diterapkan. Inilah sesuatu
penjajahan budaya yang sedang diterapkan di propinsi papua, yang mana secara
sinergis sedang mengikis selain arsitektur, budaya-budaya lainpun ikut
terkikis. Arsitektur bagi sejarah manusia merupakan sebuah karya besar dan
termasyhur yang pernah dibuat oleh nenekmoyang setiap sukubangsa didunia.
Sedangkan bumi sendiri merupakan rumah yang dirancang dan dibangun oleh Tuhan,
dan tak ada seorangpun yang mampu menciptakan planet bumi yang lain menyaingi
atau melampaui yang diciptakan oleh Tuhan, begitupun ciptaan setiap suku bangsa
tidak mungkin sama dan tidak seorang sukubangsapun yang berhak untuk
menghilangkanm ciptaan orang lain. Sejarah perkembangan arsitektur suku bangsa
di propinsi papua mencakup dimensi ruang dan waktu yang tidak dapat ditentukan
batasnya. Olehkarena itu dalam konsep pembangunan di propinsi papua, seharusnya
dikonsepsikan sesuai dengan aliran arsitektur lokal yang ada disetiap daerah
yang mendasar pada jenis bangunan dan terkait dengan fungsinya. Dikatakan demikian
karena daerah-daerah di propinsi papua dengan konsep dan gaya aliran
arsitekturnya selalu mempunyai aturan, makna dan fungsi yaitu; rumah suci,
Rumah berkumpul, Rumah hunian, Rumah pendidikan. Sebenarnya Tidak begitu sulit
dalam mengembangkan konsep pembangunan sekarang dengan menggunakan aliran
arsitektur lokal.
B.3.c. Keberhasilan Penerapan Konsep
Arsitektur Tradisional Dalam Pembangunan Papua
Suatu keberhasilan
konsep arsitektur tradisional papua yang menonjol kerapkali hanya terlihat pada
Gapura, ukiran-ukiran dan lukisan dinding. Untuk konsep arsitektur dalam gaya
bangunan tidak begitu ditonjolkan atau samasekali tidak dipake dalam konsep
pembangunan, walaupun beberapa daerah mampu manampilkan gaya arsitektur mereka
seperti gaya arsitektur Enjros sentani yang dikembangkan di kota jayapura, dan
honai wamena yang juga dikembangkan di kabupaten wamena, namun tetapi belum
sepenuhnya mencapai 100%. Sedangkan didaerah kabupaten lain seperti kabupaten
sorong selatan tidak pernah menampilkan gaya arsitektur harit, dan kabupaten
manokwari dengan gaya arsitektur arfaknya tidak terlihat wajahnya di dalam
konsep pembangunan.
Di Wamena dan Jayapura telah berhasil dengan
menampilkan wujud arsitektur tradisionalnya Karena ada kesadaran akan nilai-nilai
yang terkandung. Sedang didaerah lainnya, kecenderungan dengan prinsip egoisme
pembangunan dengan gaya moderen sangat mendominasi, akhirnya
nilai-nilai yang ada didaerah setempat terlupakan dan hilang dengan sendirinya.
Bila
dipandang dari konsep arsitekturnya, papua akan dikatakan sebagai daerah dengan
keberhasilan membangun sendiri jikalau konsep aliran arsitektur yang dipakai
dalam pembangunan dengan menggunakan konsep arsitektur tradisional. Karena
disinilah papua akan terkenal dengan kebhinekaan gaya arsitektur tradisionalnya,
papua akan disebut sebgai sebuah bangsa yang berjaya yang mana kejayaannya
ditunjukkan melalui aliran-aliran arsitekturalnya.
B.3.d. Ketidak berhasilan Konsep
Pembangunan Tanpa Arsitektur Tradisional
Bilamana kita berbicara
mengenai konsep, maka kita berbicara tentang arah, kebijakan, cara, metode,
yang ditampilkan dalam mengembangkan sesuatu ide yang dikonsepsikan. Berkaitan
dengan konsep pembangunan, setiap manusia atau kelompok dan sukubangsa
mempunyai metode atau konsepnya masing-masing dan berbeda, hal ini disesuaikan
dengan kebutuhan pembangunan yang ada. Suatu kesalahan dalam konsepsi
pembangunan yang seringkali ditemukan saat ini adalah, konsep
pembangunan tanpa arsitektur lokal. Setiap suku bangsa di Papua mempunyai aliran atau gaya
bangunan arsitekturalnya yang unik, akan tetapi seringkali ketika dalam konsep
pembangunan, aliran arsitektur tradisional ini tidak diingat (terlupakan) atau
tidak dimunculkan dalam proses pembangunan. Padahal ketika kita berbicara
mengenai arsitektur tradisional, kita telah berbicara tentang suatu jatidiri,
idealisme, citra, rasa, karya, karsa suatu bangsa karena arsitektur tradisional
adalah bagian dari kebudayaan manusia, berkaitan dengan berbagai segi kehidupan seperti; seni,
teknik, ruang/tata ruang, religi.
Perkembangan
konsep pembangunan daerah saat ini cenderung mengesampingkan gaya arsitektur
lokal (setempat) yang bila dikembangkan, mampu mengangkat kebesaran nama suatu
daerah yang akan dikenal dan berjaya. Misalnya arsitektur Joglo, arsitektur Honai,
arsitektur colonial, arsitektur bizantum, arsitektur minang, arsitketur
fengsui, arsitektur halit-mbol
chalit, sudah ada di
wilayahnya masing-masing sejak zaman keberadaan nenek moyangnya, dan berkembang
bersama-sama dalam kehidupan mereka.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi sehingga arsitektur tradiaionl menjadi terlupakan adalah:
1. pengaruh aliran arsitektur luar
dengan gaya, estetika dan bentuk yang moderen.
2. keinginan pemilik bangunan rumah
yang cenderung menginginkan bentuk arsitektur model aliran lain.
3. Pemerintah setempat tidak fasih
dalam mengembangkan suatu konsep pembangunan dengan menggali kearifan lokal,
sehingga arsitektur tradisional tidak dapat diperhatikan.
4. Tenaga
perancang dan ahli-ahli arsitektur yang tidak jeli dalam mengangkat aliran arsitektur
tradisional untuk menterjemahkannya dalam bentuk moderen, sehingga arsitektur
lokal tetap
tersembunyi/hanya dalam bayang-bayang
tradisional saja.
BAB V
REKOMENDASI
A. KESIMPULAN
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
A.1. Bentuk
Arsitektur Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat yang mempengaruhi kenyamanan
thermal dalam bangunan
Rumah
tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat pada dasarnya adalah merupakan bangunan
tradisional dan sistem bentuk / tampilannya telah diatur dalam suatu kaidah yang dikenal
dengan budaya Appabolang.
Berdasarkan analisis
yang telah dilakukan pada enam rumah tradisional maybrat imian sawiat, maka
dapat disimpulkan bahwa bentuk arsitektur rumah Maybrat Imian Sawiat turut
mempengaruhi kenyamanan thermal dalam bangunan, walupun sebenarnya pemikiran
mengenai kenyamanan lebih banyak merupakan suatu unsur sampingan yang timbul
secara tidak sengaja dari konsep penyesuaian diri terhadap kerasnya suhu di
wilayah Maybrat Imian Sawiat dalam menciptakan kenyamanan thermal pada ruang
dalam bangunan. Selanjutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Lokasi
Lokasi yang diperoleh suku Maybrat Imian Sawiat
dalam mendirikan rumahnya adalah mengikuti alur perbukitan, jalur jalan dan
aliran sungai bagi yang di dataran gunung, sedangkan daerah pesisir memilih
mengikuti garis pantai dan terpancar dengan pola perletakan di darat,
diperalihan darat dan perairan serta diperariran laut.
Ketiga lokasi pengelompokan
hunian tersebut masih berada diwilayah yang berhubungan langsung dengan hutan
dan pesisir pantai, sehingga masih sangat dipengaruhi oleh angin kencang,
kelembaban yang tinggi, korosi, dan pasang surut laut khususnya untuk rumah
yang berdiri diatas perairan laut dan peralihan darat serta perairan.
b. Orientasi
Orientasi bangunan hunian di wilayah permukiman suku
Maybrat Imian Sawiat merupakan penjewantahan dan hal – hal yang mendorong
bersifat ancaman dan mistis. Fasade rumah harus menghadap jalan (sarana penghubung/kontrak sosial) sebagai
tanda kehormatan dan kesopanan, begitu pula pada rumah yang berhubungan dengan
laut, fasade harus menghadap ke laut sebagai keselamatan.
Unsur iklim seperti arah angin
dan posisi lintasan matahari tidak menjadi pertimbangan. Dari hasil analisis,
Rumah Tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat yang berada pada orientasi timur –
barat, sangat menguntungkan karena sisi yang paling banyak kena sinar matahari
adalah sisi pendek bangunan. Pergerakan angin dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin karena sisi tinggi bangunan tegak lurus dengan arah angin. Orientasi ini secara
tidak disadari turut mewujudkan kenyamanan thermal yang diperlukan. Sedangkan
untuk rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat yang berorientasi utara –
selatan, sisi yang paling banyak terkena sinar matahari adalah sisi panjang.
Hal ini tentunya kurang menguntungkan karena dapat menjadi sumbangan panas
dalam bangunan.
c. Bentuk
dan Denah
Suku Maybrat Imian Sawiat dalam menentukan ukuran /
dimensi bangunan, menggunakan teori kira – kira, kadang menggunakan ukuran tubuh
manusia (jengkal), namun untuk ukuran tinggi bangunan biasanya disesuaikan
dengan ukuran panjang pendeknya bahan konstruksi.
Bentuk
denah yang tercipta dari ukuran – ukuran tersebut adalah suatu bentuk dengan
yang bersegi empat pipih, sehingga memungkinkan untuk diterapkan system cross
ventilase dan pemanfaatan cahaya matahari sebagai pencahayaan alami, serta
pembuangan kepulan asap. Rumah dengan bentuk denah seperti ini cocok untuk
daerah yang beriklim lembab.
Rumah tinggal Suku Maybrat
Imian Sawiat berbentuk rumah panggung yang memiliki kaki, badan dan kepala
sebagai konsekwensi dari aturan budaya Appabolang. Kaki harus ditinggikan dari
permukaan tanah karena kondisi memungkinkan untuk mengantisipasi pengaruh
eksternal yang terjadi. Kaki/tiang dilengkapi dengan palang /penyangga (katar) supaya tiang tidak cepat
rusak/lapuk apabila bersentuhan dengan tanah. Badan rumah sebagai penghidupan
sejati yang harus dilindungi dari alam luar yang jahat, sehingga ditempatkan di
posisi tengah. Hal ini tentu saja untuk melindungi ruang – ruang aktivitas
keluarga dari radiasi matahari, angin kencang, hujan dan pasang surut air laut.
Kepala / atap, harus ditinggikan yaitu tidak boleh kurang dari manusia. Kondisi
ini tentu bermanfaat untuk menetralisir suhu panas yang ada didalam ruang.
d. Atap dan Dinding
Atap bagi suku Maybrat Imian Sawiat berfungsi untuk
melindungi bangunan dari panas matahari dan kebasahan hujan.
Dinding sebagai kulit bangunan
yang senagtiasa harus manjadi pelindung terhadap radiasi matahari, hempasan air
hujan, kelembaban dan angina kencang dari luar. Pada rumah tinggal suku Maybrat
Imian Sawiat dengan penggunaan dinding bangunan dari kulit kayu, gaba – gaba,
papan kayu, diketahui mempunyai time lag kecil, sehingga panas yang ada
langsung diterima dan dipancarkan untuk itu dinding banguan harus senangtiasa
terbayangi/terlindungi dari sinar matahari langsung.
e. Overstek / Pelindung
Rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat rata – rata
tidak menggunakan overstek, padahal untuk rumah tinggal Suku Maybrat Imian
Sawiat, overstek atau pelindung sangat dibutuhkan setiap sisi bangunan untuk melindungi dinding terutama
dari sinar matahari langsung, mengingat bahan dinding yang digunakan dari papan
kayu, kulit kayu, dan gaba – gaba dengan time lag yang kecil.
f.
Material
dan Warna
Pemilihan material atap pada rumah tinggal suku
Maybrat Imian Sawiat rata – rata menggunakan atap daun sagu, daun rumbino dan
seng. Penggunaan daun sangat baik untuk merendam pengaruh radiasi matahari
karena tidak menyerap panas, bahkan mempunyai pengudaraan yang baik. Atap daun dapat merefleksikan panas antara 20% -
23% sedangkan kekurangan penggunaan atap daun mengakibatkan kemudahan untuk
terserang hama dan serangga. Namun pada daerah pesisir pantai Tehit, Sorong
Selatan, yang memiliki kadar garam tinggi, hama atau serangga perusak tidak
dapat berkembang sehingga atap daun sangat menguntungkan terutama untuk
mengusir kelembaban dan mengurangi panas yang ada dalam ruang.
Disisi lain, pengguna atap seng
di daerah pantai kurang tepat karena kadar garam yang tinggi dapat menyebabkan
korosi, sehingga atap seng mudah rusak. Penggunaan atap seng bagi suku Maybrat,
Imian, Sawiat, disamping karena pertimbangan konstruksi yang ringan, juga
terhadap kebiasaan menampung air hujan untuk keperluan sehari-hari. Air hujan
dari cucuran atap seng lebih jernih dan lebih bersih dibanding atap daun. Atap
seng dapat merefleksi 90% - 70% akibat radiasi matahari. Pada rumah tinggal
suku Maybrat, Imian, Sawiat, atap seng rata-rata tidak diberi warna. Dengan
demikian maka atap seng cepat merefleksi panas sekitar 45% - 25% sehingga
terasa cepat panas, yang mengakibatkan pengaruh pada kondisi konfort di dalam
ruangan. Untuk itu dapat diantisipasi dengan pemasangan plafond dan bukaan
jendela yang cukup. Disamping itu, bahwa atap seng mudah terjadi kondensasi
khususnya dipagi hari. Untuk itu, konstruksi kayu yang ada dibawah harus
terlindungi benar dari kelembaban. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian cat
atau ter dan harus bisa bernafas artinya hawa udara senantiasa mengalir
berputar dibawahnya. Pada rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, dapat
dikataka telah merespons terhadap kondisi ini.
Sedangkan untuk elemen
bangunan lain umumnya menggunakan material dari Kayu sebagai struktur dan tali
sebagai pengikat. Material kayu diketahui
mempunyai kemampuan pemantulan sekitar 60% - 40%.
g. Pola
Penataan Hunian.
Pola penataan hunian dipermukaan wilayah hunian Maybrat, Imian, Sawiat,
ini mengikuti lereng perbukitan bagi wilayah perbukitan, dan mengikuti pesisir
pantai bagi wilayah pesisir atau ini bisa dikatakan bahwa masih semrawut dan
tidak teratur. Tentusaja kondisi ini dapat mempengaruhi tinggi rendahnya
temperatur lingkungannya.
Pada rumah halit yang diteliti, setiap rumah di wilayah
pegunungan lereng, tidak memperhatikan jarak ruamah antara satu dengan yang
lain tetapi bergantung pada pemilihan lokasi, karena dipengaruhi oleh lereng,
bukit dan tebing sehingga lokasi sebagai ukuran utama penempatan bangunan.
Sedangkan di wilayah pesisir pantai, memperhatikan perbandingan yang seimbang
antara luas lahan dan luas bangunan. Hal ini tentunya dapat menjadi pendukung
yang baik untuk mengontrol arah angin dan memanfaatkannya untuk mengusir
kelembaban dan panas dalam ruang.
A.2. Pengaruh Iklim Terhadap Kenyamanan Thermal Rumah Tinggal
Suku Maybrat, Imian, Sawiat.
Berdasarkan analisis dari hasil pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa
keberadaan hunian suku Maybrat, Imian, Sawiat, beserta lingkungan dan budayanya
telah dapat merespon terhadap pengaruh iklim tropis untuk mencapai kenyamanan
thermal dalam bangunannya sebagai berikut:
a.
Pengaruh
Sinar Matahari
Untuk
menghindari sinar matahari langsung masuk ke dalam bangunan, maka dianjurkan
untuk memakai pelindung dari atap dan dinding. Namun dari hasil analisis dengan
menggunakan susunan path diagram, kulit yang ada belum cukup untuk melindungi
kulit bangunan dari sinar radiasi matahari. Sehingga masih membutuhkan pematah
sinar matahari dengan panjang tentunya. Sedangkan pemanfaatan cahaya matahari
untuk pencahayaan alami pada tiap rumah halit, hampir seluruhnya berfungsi
dengan ketentuan bahwa setiap ruang yang ada harus diberi lubang 2m-2,8m lubang
bukaan/jendela. Sementara dindingnya dari bahan kayu, dan kulit kayu, yang
mempunyai celah. Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa rumah tinggal
suku Maybrat, Imian, Sawiat, yang sisi bangunannya berorientasi pada utara
selatan, pemanfaatan cahaya alaminya memenuhi persyaratan besar intensitas
cahaya yang dianjurkan. Sedangkan rumah yang sisi panjang bangunannya
berorientasi timur barat, pada jam 12.00 dan jam 14.00 nilai intensitas
cahayanya berada diatas ambang persyaratan maksimal. Jadi pada jam-jam ini
terjadi discomfort.
b.
Pengaruh
Temperatur Udara.
Dari
hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa rentang temperatur
yang terjadi pada rumah di daratan dan di peralihan, rata-rata tinggi.
Sedangkan rumah perairan laut menunjukkan kondisi temperatur yang berkisar
sedang ke rendah. Hal ini disebabkan karena dibidang daratan lebih panas dua
kali lebih cepat dari pada bidang air pada luas yang sama, dan bidang air
kehilangan sebagian energi panasnya karena penguapan. Disamping itu pola
peletakan hunian diperalihan yang cenderung padat tidak teratur menjadi
penghambat aliran angin untuk mencapai jendela/bukaan, sehingga perannya untuk
menurunkan temperatur udara sangat kecil.
c.
Pengaruh
Hujan dan Kelembaban
Terhadap
pengaruh hujan diatasi dengan pembentukan atap yang memadai. Hal ini tentunya
untuk mempercepat turunnya air hujan dari atap supaya tidak merembes masuk
kedalam rumah, disampin untuk ditampung sebagai persediaan air bersih
sehari-hari (khsus wilayah pesisir laut). Namun pada hunian perkampungan di
Maybrat, Imian, Sawiat, umumnya dibangun dengan bentuk atap pelana dengan sudut
jatuh suram menutupi sebagian badan/dinding rumah sehingga pengaruh hempasan
hujan untuk menembus dinding dapat terlindungi.
d.
Pengaruh
Pergerakan Udara
Kecepatan
gerak udara sangat penting dalam usaha menciptakan suatu nilai kenyamanan. Bila
dilihat dari bentuknya maka perlu ditambahkan bukaan/jendela disetiap rumah
hunian suku Maybrat, Imian, Sawiat, sehingga cukup memenuhi kriteria
kenyamanan, karena dengan bukaan yang ada bisa memanfaatkan udara sebagai
penghawaan alami. Namun pemanfaatan aliran angin melalui penempatan bukaan pada
posisi yang tepat, belum seluruhnya tercapai pada setiap rumah pesisir untuk
kecepatan angin 0,1m/det dengan arah angin miring terhadap lubang, bila
bukaannya miring maka belum memenuhi persyaratan, untuk kegiatan keluarga. Hal
ini disebabkan karena perletakannya berada pada daerah peralihan daratan dan
perairan. Pergerakan udara didaerah peralihan daratan dan perairan ini
diketahui rata-rata 2-3, 1 km/jam. Sedangkan untuk didaratan/pegunungan,
pergerakan udara rata-rata 3,1 km/jam dan untuk diperairan laut rata-rata 5.3
km/jam. Kecepatan udara diperalihan relatif kecil karena pola perletakan
huniannya cenderung pada dan tidak teratur, sehingga pergerakan udara terhalang
ke bangunan.
e.
Kenyamanan
Thermal Rumah Halit
Kondisi
udara yang dirasakan nyaan mempunyai kombinasi dan temperatur kelembaban, dan
kecepatan angin. Kondisi tiap rumah Halit dalam sehari berada pada kondisi
nyaman optimal menurut kekondisian hangat kondisi nyaman optimal pada rumah
tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, dapat disimpulkan berdasarkan pola
perletakan hunian sebagai berikut.
·
Untuk perletakan hunian di daratan gunung. Kondisi
kenyamanan optimal rata-rata terjadi pada jam 18.00 – 08.00 pagi. Sedangkan
pada jam 10.00 – 16.00 sore beradadalam kondisi
hangat.
·
Untuk perletakan hunian di peralihan darat dan perairan
laut. Kondisi nyaman optimal rata-rata hanya terjadi pada jam 01.00 – 16.00
sore berada dalam kondisi hangat.
·
Untuk perletakan hunian di perairan laut pada jam 18.00 –
08.00 pagi. Sedangkan pada jam 10.00 – 16.00 sore berada dalam kondisi hangat.
Kondisi
kenyaanan didarat dan diperairan laut sebenarnya kurang lebih hampir sama. Hal
ini disebabkan karena kelembaban di perairan laut lebih tinggi daripada
didarat. Sedangkan rentang temperatur berlaku sebaliknya, sehingga kondisi yang
ditunjukkan dalam diagram olgyay berada dalam kondisi tidak nyaman dan masih
perlu ditoeransi dengan tambahan angin sekitar 0,5 – 1,5 m/det. Sedangkan untuk
hunian yang berada di peralihan darat dan perairan laut masih membutuhkan
tambahan angin sekitar 1,5-1,3 m/det.
B.
USULAN
KONSEP DAN REKOMENDASI
1.
Budaya Appabolang sebagai pedoman untuk medirikan rumah
halit-mbol chalit, bukan suatu aturan yang kaku, tetapi tetap berkembang
mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu, bentuk dan
tampilan rumah tinggal suku Maybrat, Imian, Sawiat, sebagai hasil budaya
Appabolang dapat diadaptasikan dengan menambahkan aspek-aspek perancangan yang
merespon terhadap lingkungan alam tropis. Dengan demikian, selain aspek teknis dan aspek
kesehatan dapat lebih memenuhi persyaratan dan aspek sosial budaya masyarakat
Maybrat, Imian, Sawiat, dapat sesuai dan diterima.
2.
Terhadap iklim, disarankan:
a. Untuk
mengurangi radiasi matahari terhadap atap bangunan dan mengurangi efek silau,
penggunaan atap seng sebaiknya dilapisi dengan cat warna kemerahan (dapat
merefleksi panas 35%). Atau dengan menggunakan genteng asbes untuk manggantikan
seng. Karena genteng asbes selain tidak mudah berkarat, konstruksinya ringan,
mudah dipasang, cukup murah, dan tidak perlu khawatir terhadap proses
pembusukan seperti atap daun. Untuk mengurangi silau akibat pantulan air laut
dan terang langit, dapat diatasi dengan pembuatan pematah matahari, selain itu
digunakan untuk perlindungan dan pengaruh hujan. Panjang pematah sinar matahari
disarankan adalah sepanjang 1,2 m – 2 m dengan bentuk yang sesuai dengan
jendela dan kemiringan atap.
b. Perlu
ada pemberian jarak pada bangunan untuk mendapatkan keteraturan tata letak
bangunan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan efek pengaliran udara yang baik
pada lorong-lorong antar rumah, serta untuk menurunkan kondisi kelembaban yang
sangat tinggi. Pola tata letak bangunan yang disarankan adalah berbaris
membentuk grid, supaya angin dapat
dengan leluasa mencapai bangunan. Angin yang bertiup sangat kencang
tentu saja akan menjadi masalah. Jadi perlu ada usaha untuk mengendalikannya.
Misalnya dengan penahan-penahan angin seperti defletor-defletor yang
membelokkan arah angin menurut yang kita kehendaki dan bahkan dapat
dimanfaatkan terutama untuk mengusir kelembaban yang sangat tinggi. Solusi
tepat untuk menjembatani antara tiupan angin kencang yang sering terjadi di
pantai dan di lain pihak kebutuhan akan gerakan udara untuk mengusir tingkat
kelembaban yang sangat tinggi. Perlu juga diperhatikan mengenai pemanfaatan vegetasi
yang dapat tumbuh di wilayah pesisir pantai seperti pohon bakau, pohon palm,
dan lain-lain sebagai klimatologi kontrol, juga dapat memberi nilai estetika.
c. Pada
prinsipnya pembangunan rumah diatas tiang-tiang (rumah panggung) adalah suatu
keputusan yang cukup bijaksana, apalagi bila bediri diwilayah pesisir pantai
dengan kondisi alam yang sangat keras. Disamping itu, pemakaian konstruksi ini
telah terbukti dapat mencapai suatu nilai kenyamanan yang diinginkan apabila
ditangani dengan cerdas. Untuk itu pada penelitian selanjutnya perlu dipikirkan
suatu aspek penanganan baik dan segi
perencanaan maupun perancangan. Sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan
teknologi. Tentunya untuk mendapatkan manfaat semaksimal mungkin sehingga
warisan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita tidak punah, bahkan
akan menampilkan jati diri bagi perkembangan arsitektur di Indonesia.
d. Selain
itu, untuk menghindari kelembaban dan memberikan kehangatan dalam ruang,
dianjurkan untuk setiap bukaan-bukaan, overstek, ventilasi perlu dilapisi
dengan senat (semacam anyaman dari kulit pelepah sagu). Karena menurut
penelitian kami, senat mampu mengembalikan suhu yang hangat pada ruang thermal
yang dingin dalam waktu ± 2 jam untuk ukuran bangunan 7-10 meter persegi.
B.1.Usulan Konsep Menciptakan Bentuk Arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat -Rekomendasi
Struktur bentuk redesign kepala
ornament dari tradisional menjadi bentuk moderen. Jenis ornament tersebut
adalah rahang Babi dan Rahang Rusa, yang selanjutnya dikembangkan menjadi
bentuk moderen dengan mempertahankan bentuknya sebagai dasar aliran. Untuk
bentuk moderen telah dimodifikasikan sedemikian sehingga tampaklah suatu nilai
estetika, dan karena pertimbangan estetika maka dibentukkan sedemikian. Nilai
yang terkandung pada ornament ini adalah kebesaran seseorang.
Bentuk pengadopsian sisa kayu yang diambil dari kepala burung kakatua putih yang
diadopsikan menjadi ornament pada bangunan arsitektur Maybrat, Imian, Sawiat.
KAMUS
A
Aám : Koba-Koba, Payung tradisional hasil Teknologi Sederhana
Orang Maybrat, Imian, Sawiat, yang dibuat dari bahan Daun Pandanus dan tali.
Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Aban : Ular. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Afỉ : Atap, Penutup
rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Ain : Tifa. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Aken : Perahu, Kole-kole, Sampang. Dalam sebutan bahasa lokal
suku May ithe – Maybrat.
Anu : Kamu, Kalian. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Appabolang : Budaya yang lahir berdasarkan
kebutuhan, adat istiadat dan pengaruh lingkungan. Istilah antropologi.
Ara : Kayu, Pohon, Pepohonan. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Ayamaru : Nama Sebuah Distrik yang didiami
oleh Sub Suku Bangsa Maybrat. Anak suku yang mendiami Distrik ini adalah Maybrat dan May Ithe, Letaknya di
bagian kepala burung Pulau Papua, dan termasuk kabupaten Maybrat (Bagian
Selatan Kabupaten Sorong). Suku Bangsa ini merupakan Sub Suku dari Suku bangsa
Bonberai.
Aitinyo : Nama sebuah Distrik yang didiami
oleh sub suku bangsa Maybrat. Anak suku yang mendiami Distrik ini adalah May Ithe dan May Maka. Letaknya di
bagian kepala burung pulau Papua, termasuk Kabupaten Maybrat (Bagian Selatan
Kabupaten Sorong). Suku ini merupakan anak suku dari Sub Suku bangsa Maybrat,
Suku Bangsa Bonberai.
Aifat : Nama
Sebuah Distrik yang didiami oleh Sub Suku Bangsa Maybrat. Anak suku yang
mendiami Distrik ini adalah May Maka dan
Meyah. Letaknya di bagian kepala burung pulau Papua, termasuk Kabupaten
Maybrat (Bagian Selatan Kabupaten Sorong). Suku ini merupakan anak suku dari
sub suku Bangsa Maybrat, Suku Bangsa Bonberai.
Ait : Dia Laki-laki.
Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Al-Quran : Kitab Suci Umat Muslim.
Apologi : Pengampunan. Dalam istilah
Teologia Kristen.
Ara : Kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Ara magỉ : Ampas Kayu. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
Ara Mair : Bandar Pohon. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Ara Malák : Kulit Kayu. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
Ara So : Cabang Kayu yang berbentuk Y
biasa digunakan untuk Kolum Rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Asẽr : Tiang utama Penyangga Tungku api. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
Ayá : Air, Sungai. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Aya Maám : Tepian Sungai, Pesisir Sungai/Laut, Pinggiran
sungai/laut. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
B
Bakit : Sebutan Kepada
Wanita Muda. Dalam bahasa lokal suku Maybrat.
Bám : Kapak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Barit : Tangga. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Beta : Semua, Keseluruhan, Tak satupun. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
Biblikal : Berkaitan dengan Alkitab.
Bofan : Upacara Penamaan, Tata cara pemberian nama dalam tradisi
orang Maybrat, Imian, Sawiat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Bo tohỏ : Hal yang Baru, Mujizat, Kejadian
Baru, Sesuatu yang baru, Pengalaman baru. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Bobot : Bangsawan, Kaum borjuis, Keturunan Berdarah biru,
Keturunan Ningrat. Dalam bahasa lokal suku Maybrat.
Bogonjong do : Arsitektur tradisional Sumatera Barat Indonesia
Bohrá : Halaman Rumah, Kintal disekeliling Rumah, Pekarangan
Rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Bohlát : Pembayaran Denda. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Bohra Mnẽ : Halaman Luar, Kintal diluar
rumah, Pekarangan diluar rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Bomit : Tempat Persembunyian berupa bangunan rumah, maupun
Gua-gua. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Bomná : Ceritera Rakyat, Sejarah, Kisah ceritera. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Bonberai : Sebutan Nama Suku Besar utama
yang mendiami Pulau Papua. Suku Bangsa ini mendiami bagian kepala burung hingga
leher pulau Papua. Menurut klasifikasi filum bahasa yang diklasifikasikan oleh
ahli antropologi dan ahli linguistik 1982.
Bonout : Pemikiran, isi hati, Perasaan,
Rencana, Tujuan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Bo kaỉn : Tali yang digunakan untuk menjahit dari bahan
serat Kulit kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Botgif : Firman, Kata-kata Nujum,
Kata-kata santet, Kata-kata Mantra. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Bonout aro hahayah : Pemikiran yang
berbeda, Ide lain, Pemikiran lain, Rencana lain. Dalam Sebutan Bahasa lokal
suku Maybrat.
Bo Ro Nnoủt : Barang yang diingat, Hal-hal yang
diingat, Pemikiran, Daya Khayal, Imajinasi, Rencana. Dalam sebutan bahasa lokal
suku Maybrat.
Bo snyuk : Hal khusus, Rahasia, Berkaitan
dengan Kausal, Sumpah Pribadi, Janji Khusus. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Boyi : Pembayaran Maskawin. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Brỏn : Bambu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
B’sioh : Tarian Tradisional suku Maybrat,
Imian, Sawiat, Tari Ular, Tumbu Tanah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Bta-Btá : Palem Hutan yang membentuk pohon
Pinang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
C
Cekokan : Tekanan
atau ide – ide dari pihak lain
Chlen : Burung. Dalam sebutan bahasa lokal Suku Sawiat, Imian.
Comvergence : Satuan Gelombang yang berpusat pada satu titik.
Dalam istilah Ilmu Geografi.
D
DAS : Daerah Aliran Sungai. Dalam istilah Ilmu Geografi.
Divergence : Penyebaran Gelombang ketika mendekati semenanjung.
Dalam istilah Ilmu Geografi.
Dogmatic
: Semacam Doktrin Iman.
E
Ex Nihilo : Berkaitan dengan Kekosongan,
Ketiadaan, Penjadian.
F
Farokh : Selokhi, Mangkuk, Tempayan Minuman yang diraut
dari kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Mfẽ : tidak, belum, tidak ada, belum ada. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
Fetỏ : Begitu, sedemikian, seperti begitulah. Dalam sebutan
bahasa lokal Maybrat.
Fijoh Malák : Kulit kayu dari Pohon dalam
bahasa lokal disebut Fijoh atau termasuk keluarga “Cofasuss SP”
Finyá : Perempuan, Wanita, (kata ini bisa sebagai kata ganti
menunjukkan orang tunggal dan jamak). Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Finya Mabe : Ibu Melahirkan. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Finya Mgiár : Pendidikan Tradisional Orang
Maybrat, Imian, Sawiat, pada zaman Prasejarah yang Khusus untuk Wanita.
Flet bo : Berfilsafat. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
Fra Habáh : Pecahan Batu, Bagian Lain dari
Batu yang dipecahkan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Fra Mán : Batu Tajam, Bagian Batu yang Tajam. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
G
Ginyáh : Kecil, bayi, anak-anak, masih
muda, belum cukup umur. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Gitaut : Cawat, Cedaku, Busana Tradisional
orang Maybrat, Imian, Sawiat, mula-mula yang terbuat dari kulit kayu kemudian
digantikan dengan Kain. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Gu ano : Sebutan Kepada Wanita bujang.
Dalam sebutan bahasa Maybrat fersi May Maka.
Gu mbỉt : Pusat/Pusar Bayi. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
H
Habán : Kalung, Manik. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Hafot : Tiang Pancang, Tiang dengan Ompak, Koloum Induk, dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Halelem : Pohon/Kayu yang serat kulitnya digunakan
sebagai tali/benang dalam meramu noken dan payung tradisional. Dalam sebutan
bahasa tradisional suku Maybrat.
Halit Myi : Rumah gantung atau Rumah yang
dibangun dengan ukuran tinggi bahkan ada yang dibangun diatas pohon yang
rindang dan tinggi. Sebutan dalam bahasa lokal suku Maybrat.
Halit Wyán : Rumah Kebun. Atau bangunan rumah
yang khusus dibangun hanya di kebun yang fungsinya sebagai tempat menginap
pemilik kebun. Dalam sebutan bahasa suku Maybrat.
Hafot : Kolum. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Hafot Ra Matẽ : Kolum Cincang.
Kayu yang dicincang oleh para tukang bangunan sebagai kolum bangunan. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Hafot Ra Matỉ : Kolum yang
ditanam. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Hatik : Koba-koba, Payung tradisional hasil teknologi sederhana
Orang Maybrat, Imian, Sawiat, yang dibuat dari bahan daun Pandanus dan Tali.
Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian, Tehit.
Hita gát : Daun Kering. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Hlambra : Parang Kuno yang dibuat dari
bahan logam yang didagangkan dari daerah dongsong Vietnam Utara, dianggap
sebagai Parang Pusaka dan digunakan
sebagai perlengkapan upacara ritual/adat. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Homiletik : Pola Pendidikan Berasrama,
Tertutup. Dalam istilah Teologia Kristen.
Honai :
Arsitektur Tradisional suku Dani Papua Indonesia
Hrỉ : Dinding Bangunan dari Kulit Kayu. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat
I
Imian : Nama sebuah Anak Suku dari Sub Suku Bangsa Tehit, Suku
Bangsa Bonberai. Suku ini mendiami daerah Imian. Kabupaten Sorong Selatan.
Letaknya dibagian Selatan Kabupaten Sorong dan dibagian Barat kabupaten Sorong
Selatan.
irỏ : Dosa. Dalam Sebutan Bahasa lokal suku Maybrat.
Isỉt : Teras Rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Isrá : Gua, Lubang batu, Tempat yang Berbentuk ceruk-ceruk oleh
batu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Istỉ : Hukum adat/komunual orang Maybrat, Imian, Sawiat. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
J
Joglo :
Arsitektur Rumah tradisional jawa
indonesia
K
Kaỉn : Penutup Atap yang diambil dari sejenis Tumbuhan Pandanus
SP. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Kajang : Rumah diatas Perahu. Istilah yang
diberikan oleh ahli antropologi asal Belanda dan Swedia 1950-an, yang
menyebutkan bahwa perahu nelayan di pulau New Guinea yang dibagian atasnya
dibangun rumah disebut perahu kajang/khanjang.
Katár : Balok Pemikul. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Katektik : Pelajaran, Ajaran Injil, Firman. Dalam
istilah Teologi Kristen.
Kayah Hafỏt : Lubang yang digali untuk
mendirikan kolum. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Kbe : nanti akan terjadi/tidak terjadi, nanti akan datang/tidak
datang dll. Menunjukkan hal yang akan dan tidak akan terjadi. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Krẽ : Palang, Batasan, Tutupan. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Kre Finyẽ : Palang/Batas Wanita. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Kre Ra Smẽ : Palang/Batas Pria. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Krirás : Didinding Rumah. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Krombỉ : Sejenis Musik tradisional Suku
Maybrat, Imian, Sawiat, yang bentuknya seperti Biola dengan alat gesek/dawai.
Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Koti : Menjemur, Mengeringkan, Mengawetkan. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
Kukek : Anak-anak, orang muda, bayi. Dalam sebutan bahasa lokal
suku Maybrat.
Kusia Habáh : Pecahan Botol, Beling, Pecahan
Kaca. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
M
Mafir Hrỉ : Membuat dinding, Memasang dinding
dengan bahan kulit kayu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Makah : Membawa, Mengantarkan Sesuatu. Dalam sebutan bahasa lokal
suku Maybrat.
Mama : Mereka sedang Datang/Menuju kita, Dia Perempuan
Datang/menuju kita. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Mamủr : Gelap Gulita. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Maná : Kepala Wanita, Kepala Hewan, Bagian depan (Kendaraan,
Perahu, Kapal). Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Mato/ỏ : Ruang Dalam, Pintu, bolong,
lubang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Masủf : Tengah, Pertengahan, Ditengah-tengah, Sentral, Pusat.
Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Mase/ẽ : Besar, Banyak. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Massive Man : Orang yang hidupnya suka
berperang. Orang yang masinh hidup pada zaman batu. Lihat kamus ilmiah populer
fersi inggris.
Mati hafỏt : Menanam Tiang Kolum. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Maut Hdán : Upacara Ritual dalam tradisi Orang Maybrat,
Imian, Sawiat.
Maut Shaflá : Upacara Ritual dalam tradisi
orang Maybrat, Imian, Sawiat.
Maut wláh : Upacara Ritual Untuk Pengakuan
Dosa. Dalam tradisi orang Maybrat, Imian, Sawiat.
Maybrat : Nama sebuah Sub Suku Bangsa dari
Suku Bangsa Bonberai. Suku ini mendiami wilayah Maybrat. Anak suku dari suku
ini adalah Maybrat, May ithe, May maka, meyah. Suku ini mendiami wilayah bagian
selatan kepala burung Pulau Papua.
May Ithẽ : Nama Sebuah Anak Suku dari Sub
suku Maybrat, Suku bangsa Bonberai. Suku ini mendiami wilayah Maybrat, wilayah
bagian selatan kepala burung Pulau Papua.
Mbiji aám : Proses Membuat ukiran/aliran
bentuk sebagai Estetika pada Payung. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Mban Ra sme : Memberikan dukungan kepada laki-laki, Sebagai
wanita yang menunjang suami. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Mber wiyỏn : Aktivitas Pendidikan Insisasi
wiyon-wofle, Mendidik, Menasehati, Membimbing. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat
Mbol : Perumahan, Gedung, Apartemen, Hotel, Bangunan Moderen,
Mall, Benteng Pertahanan, Bangunan Utama rumah hunian moderen. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Sawiat, Imian.
Mbol Chalit : Rumah Gantung, Rumah yang ukuran
struktur Kolumnya tinggi, rumah yang dibangun diatas pohon tinggi. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.
Mbol Chalit Tein : Rumah Kebun,
bangunan yang dibangun khusus dekat kebut untuk dihuni atau sebagai tempat
peristirahatan sementara oleh petani. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat,
Imian.
Mbol Chonon : Rumah Bersalin, Rumah khusus ibu
dan anak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.
Mbol Se : Rumah Nelayan, bangunan yang
berdiri disepanjang pesisir sungai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat,
Imian.
Mbol Nandla : Asrama Putra, Rumah bujang
Laki-laki. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.
Mbol Nangli : Asrama Putri, Rumah bujang perempuan. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.
Mbol Wofle : Gereja, Masjid, Vihara, Kemah
Suci, Bait Allah, Sekolah, Kampus, Universitas. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Sawiat, Imian.
Mbou : Keramat, Mistik, Ghaib, Tidak tertandingi. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Meti : Melabuhkan Kapal di dermaga atau laut, Menemukan orang
yang dikejar. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Meru :
Arsitektur Tradisional Bali Indonesia
Meyáh : Nama Sebuah Anak Suku dari sub suku Maybrat, Suku Bangsa
Bonberai. Suku ini mendiami wilayah Maybrat, wilayah bagian selatan kepala
burung Pulau Papua.
Mhre : Duduk. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Mhoh Biaỏh : Mengejar Penjahat, Memburu Musuh.
Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Minyan : Parang. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Sawiat, Imian.
Misioh : Memperbaiki, Menservice yang
rusak menjadi baru, Meluruskan, Memperjelas. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Misiologi : Misi/Perjalanan/Sasaran/Program
Gereja/Penginjilan. Istilah Teologi.
Miwyah aám : Proses Pengawetan daun Pandanus
untuk selanjutnya diramu menjadi Payung. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Mjiẽn : Tidur, berbaring. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Mkeỉr : Tidak bagus, Tidak estetis, Tidak Indah, Tidak Menarik,
Tidak Baik, dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Mkes Afỉ : Memasang Atap. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Mof : Baik, bagus, indah, menarik, estetis, dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Mnout : Dia Perempuan Mengingat, Mereka Mengingat. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Morse : kode, tanda. Istilah dalam ilmu perang. Lihat pula
istilah-istilah Pramuka.
M’syá : Dengan, Bersamaan, Terbalik ke bawah. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
M’syien Rmah : Membuat/Memasang Lantai. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat
Mti : Malam, Petang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
M’twỏk : Memasuki, Mendekati. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Mwi bowỉ : Sejenis Tarian Tradisional Orang
Maybrat, Imian, Sawiat, Bernyanyi, Pujian. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Mwohat Ohát : Membuat Tungku Api. Dalam sebutan
Bahasa Lokal suku Maybrat.
N
Nangli : Sebutan kepada Wanita Muda. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Sawiat, Imian, Tehit.
Na : Sebutan yang menunjukkan Orang atau Manusia (kata ganti
tunggal, menunjukkan orang banyak atau sebagai kata jamak) dalam bahasa lokal
suku Sawiat, Imian.
Na Wofle : Pendeta, Pator, Kiai, Biksu,
Guru, Penasehat, Penginjil. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.
Nawe : Bilang, Mau, Kepingin, Bertekad. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
N’bỏ : Engkau Pegang (Kata ganti orang tunggal). Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
N’fibo : Engkau/Anda Seperti/Bagaikan.
Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
N’mát : Engkau/Anda Melihat. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
N’rỏs : Berdiri. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
N’sgi : Engkau Mendirikan
Rumah, Engkau Membangun Rumah (Kata ganti orang Tunggal). Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
N’sỏk : Memilih, Memilah. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
N’truk : Engkau/Anda Masuk/Memasuki. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Nuủt : Kamu Naik, Kamu Memanjat, Kamu Mendaki, Kamu
Tutupi/menutup. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
N’yiỏ : Engkau, Anda. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
O
Ohát : Tungku Api, Tempat untuk memasak. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
Oỏ : Tempat, Daerah, Wilayah, Areal. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
Omni science : Maha Mengetahui.
Omni Present : Maha Berada.
Orỏn : Sebutan Kepada Tuhan Allah Bapa. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
P
Pastoral : Kependetaan, Berkaitan dengan
Pelayanan Keluarga. Istilah dalam Teologia Kristen
Plural : Multi Dimensi, Berfariasi, Multi
etnic, Multi cultural.
R
Raá : Sebutan yang menunjukkan Orang atau Manusia, (kata ganti
tunggal menunjukkan orang banyak atau sebagai kata jamak) dalam bahasa lokal
sub suku Maybrat. Kabupaten Maybrat.
Raá ỉn : Orang tidak berpendidikan, Buta
Aksara, Manusia Fana, Orang yang penuh dengan Dosa. Dalam sebutan bahasa lokal
suku Maybrat.
Raá Kinyáh : Rakyat, Masyarakat biasa, bukan
bangsawan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat, Imian, Sawiat, Tehit.
Raá Mabỉ : Orang Tua, Petuah. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Raá Mbẽr : Pelajar, Orang terdidik, Kaum
Berpendidikan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Raá Waỉt : Orang Kepunyaannya, Rakyatnya,
Pengikutnya. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Raá Wiyỏn : Pendeta, Pastor, Ustat, Biksu,
Guru, Penasehat, Penginjil, Guru Jemat. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Rae
Sawán : rakyat kecil, masyarakat, orang bukan
bangsawan. Dalam Bahasa lokal anak suku May Maka (daerah Karon, Mare).
Refraction : Pembiasan Gelombang. Dalam istilah Geografi.
Reto : Yang itu. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Riof kanyá : Keserasian, Kebahagiaan bersama, berkaitan
dengan kebahagiaan orang banyak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Rmáh : Lantai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Ro : Yang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Rotỏ : Lain, Tidak Sama,
Tidak sesuai, Berbeda.
Rủ : Sebutan Burung dalam bahasa lokal Suku Maybrat. Kabupaten
Maybrat.
S
Safáh : Taring Dari Ular Naga yang dijadikan sebagai bahan
perhiasan/manik/kalung. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Safỏm : Hutan Belantara, berkaitan dengan alam hutan. Sebutan
dalam bahasa lokal suku Maybrat.
Sah : Pisau. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.
Sala : Api. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian,
Tehit.
Samủ : Perumahan, Gedung, Hotel, Bangunan Megah, Rumah Moderen.
Samu Krẽ : Rumah Bersalin atau rumah untuk
Ibu yang melahirkan. Dalam sebutan bahasa suku Maybrat.
Samu Matỏ : Ruang Dalam (interior) dalam
sebutan bahasa lokal Suku Maybrat.
Samu Sirẽt : Gedung Pertemuan, Gedung Upacara,
Rumah Berkumpul. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Samu Snẽk : Benteng Pertahanan, Rumah
Persembunyian. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Samu Mambỏ : Rumah Nelayan, Rumah Pesisir, Bangunan yang
berdiri di pesisir sungai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Samu Kusmẽ : Asrama Putra, Rumah khusus
laki-laki bujangan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Samu Kuanỏ : Asrama Putri, Rumah khusus wanita
Bujangan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Samu K’wiyon : Rumah Suci, Gereja, Masjid, Vihara,
Tabernakel, Kemah, bait Allah, Sekolah, Kampus, Universitas. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Sana Wiyỏn : Menguji Murid, Memberi Ujian,
Memberi Ulangan Kepada Murid. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Sawiat : Nama sebuah Anak Suku dari Sub
Suku Bangsa Tehit, Suku Bangsa Bonberai. Suku ini mendiami daerah Sawiat.
Kabupaten Sorong Selatan. Letaknya dibagian Selatan Kabupaten Sorong dan
dibagian Barat kabupaten Sorong Selatan.
Sbỉs : Menjahit. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
seỉ : Biasa, Saja, Cuma. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Ses : Rotan Jenis Besar, sering disebut rotan Jawa. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Sfa : Gunung, Orang yang hidup dibagian Pegunungan, Orang
Gunung. Istilah dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian, Tehit.
Singular : Tunggal, Satu, Perorangan.
Smẽ : laki-laki. Ra sme: Dia laki-laki, orang
Laki-Laki. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Smỉ : Bermimpi. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat
Snẽh : Kalem, Lembah lembut, Halus, Tidak Kasar. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Snyủk : Khusus, Pribadi, rahasia. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Sỏf : Gording. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Sogỉ : Parang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat
Soh : Bila Mana, Apabila, Jikalau. Dalam sebutan bahasa lokal
suku Maybrat.
Soủ : satu, tunggal, bersama, tidak terpisah-pisah. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Srah : Palem Hutan yang jenis pohonnya kecil biasanya digunakan
sebagai bahan lantai rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Srẽ : Salah, Meleset, Tidak Tepat, Keluar dari aturan. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat
Sủ : Bersama-sama. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Sui generis : Generasi, Perasaan Menyeluruh
Sum Kafir : Nama Kafir, Nama yang tidak
dibabtis. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Sủr : Sebutan Umum untuk Kayu (Tiang, Balok, Nok, Reng, Usuk,
Gording dll). Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Swỉr : Balok Sokong, Balok Pengikat angin. Dalam sebutan bahasa
lokal suku Maybrat.
T
Tabám : Tanah, Negeri, Lembah, Negara, Benua, Daerah. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Tafỏh : Api. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Tagi : Penguasa Alam Air, Roh Halus yang Berada di Air/Sungai
sehingga sungai tersebut dianggap keramat/mistik. Dalam sebutan bahasa lokal
suku Maybrat.
Tarỏ : Stadion, Arena Pertunjukkan, Gedung Olahraga, Gelanggang
Olahraga. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Tbỉl : Bambu yang berwarna Kuning/Bambu Cina. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Tfỏ : Pisau. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Tgif : Membaca Firman, Membaca Mantera, Membaca Nujum. Dalam
sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Ti Manáf : Bubungan Atap, Bagian Kepala
Rumah. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Tin : Antin. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Tmáh : Kapak. Dalam sebutan bahasa lokal suku Sawiat, Imian.
Tná : hal/sesuatu/kejadian baru, lalu, terus, selanjutnya.
Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Tongkonan :
Arsitektur tradisional Toraja Indonesia
Toỏ : Rotan, Tali, Ikatan, Pengikat. Sebutan dalam bahasa
lokal Suku Maybrat.
Tokẽ : Tifa yang
ukurannya kecil. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Trẽf : Alat Gesek/Dawai Biola. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Truk : Masuk, Kedalam. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Turáf : Gaba-gaba. Tangkai dari sagu yang difungsikan sebagai
bahan penutup dinding Bangunan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Twỏk : Masuk, Memasuki. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
U
Undagi : Manusia terampil. Dalam istilah
ilmu Antropologi
W
Waná : Punya Mereka,
Kepunyaan Mereka. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Wanủ : Kita, Kitorang. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat
Watá : Sero, Bubu, Alat penangkap ikan, udang, hasil teknologi
sederhana orang Maybrat, Imian, Sawiat. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Watủm : Nasehat, Firman, Kata bijak. Dalam sebutan bahasa lokal
suku Maybrat.
Waỹ : Taring Babi. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Wiyỏn : Sebutan Kepada Tuhan, Allah. Dalam bahasa lokal suku
Maybrat.
Wiyon Tná : Murid, Pelajar, Mahasiswa. Dalam sebutan
bahasa lokal suku Maybrat.
Wofle : Sebutan kepada Tuhan, Allah. Dalam bahasa lokal suku
Sawiat, Imian.
Wyák : Perahu, Kole-Kole, Perahu Sampang. Dalam sebutan Bahasa
lokal suku Maybrat
Y
Yhár : Dia (laki-laki) mengetahui, mengenal, menguasai,
menjiwai. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Yhoủ : Dia Laki-laki berada, Dia Laki-laki Bertahta, Dia
Laki-laki Berdiam, Alamat orang Laki-laki. Dalam sebutan bahasa lokal suku
Maybrat.
Yhrẽ : Dia Laki-Laki Duduk, Dia Laki-Laki Menjabat pada Jabatan,
Dia laki-laki Menempati. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Ytah kỏn : Tidak lulus, Gugur dalam Ujian,
Tidak berhasil dalam pendidikan. Dalam sebutan bahasa lokal suku Maybrat.
Ytos guawẽ : Memelihara anak terlantar,
Mengasuh anak terlantar. Dalam bahasa lokal suku Maybrat.
___________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
“Juhana” Arsitektur dalam kehidupan Masyarakat → Bendera 2001
”Mansoben”sistem
kepemimpinan pria berwibawa di Irian Jaya→ www.leden.edu.id
Breen, Ann. & Rigby, Dick. (1994): Waterfront- Cities reclaim their edge.
New York: Mc. Graw
hill.
Campel, Craig,S. (1982): Water in
landscape Architecture. New York: Van Nostrad Reinhold Company.
Sagrim Hamah – History Of God In
Tribals Religions (Rahasia Theologi Tradisional Suku
Maybrat Imian Sawiat diparalelkan dengan
Alkitab, CV. MaJav, 2010
Hardiman, Gagoek (2000) Peranan
ruang terbuka hijau dalam peningkatan kualitas udara di perkotaan pada daerah
tropis. Semarang. JAFT .
Lippsmeier, Georg (1994); Tropenbau
Building in the Tropics. Muenchen: Verlag Georg. D.W. Callwey.
Pomanto, Danny. (2004) Bahan
presentasi RTRW Kota Makassar 2005-2015. Makassar: PT.Dann Bintang GR.
Susilo, Hendropranoto. Pryanto,
Totok. (1993): Perkembangan Waterfront di Perkotaan. Majalah Sketsa
9 Mei 1993. Universitas tarumanegara, hal;13.
Takeo, Kondo
.(1991): Perspektif- Waterfront. Tokyo:
Chiyodaku.
Torre, L, Azeo. (1989). Waterfront
Development. New York: Van Nostrand Reinhohld.
DR-.Ing.Ir.Gagoek Hardiman. Sekretaris Progam Doktor Arsitektur dan Perkotaan.
Program Pasca Sarjana. Undip. Jl.Imam Bardjo SH. No 3. Telp: (024)8412261,
8412262 FAX: (024)8412259: Email: S3archurb_undip@yahoo.com.
____________________________________________________________________________
Ar.
Frank Hamah Sagrim, ST adalah seorang Arsitek, Peneliti,
Seniman, Filusuf dan Ilmuwan Muda. Menamatkan Pendidikan Ahli Arsitektur pada
Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya. Menyelesaikan S1 Study Etnisitas
Arsitektur Tradisional di Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Melanglang
buana dalam dunia penelitian sejak kuliah hingga sekarang. Lebih dari belasan
karya ilmiah yang telah diterbitkan dan juga belasan karya ilmiah lainnya yang
masih dalam bentuk naskah dan sedang diusahakan untuk proses penerbitan.